Senin 25 Jun 2018 19:31 WIB

Konsultasi Syariah: Produk Multiakad

Jika setiap unsur akad dalam multiakad hukumnya sah, maka gabungan akad juga sah.

Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Oni Sahroni saat memaparkan penjelasan pada kegiatan Kajian Ahad Pagi dengan tema  Pesan Makanan via Jasa Transportasi Online Menurut Fikih Islam di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Ahad (18/2).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Oni Sahroni saat memaparkan penjelasan pada kegiatan Kajian Ahad Pagi dengan tema Pesan Makanan via Jasa Transportasi Online Menurut Fikih Islam di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Ahad (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Diasuh Oleh:  DR ONI SAHRONI MA, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

 

Assalamualaikum wr wb.

Banyak produk lembaga keuangan syariah (LKS), khususnya perbankan (seperti produk KPR), terdiri atas multiakad. Saya ingin dapat penjelasan, bagaimana pandangan fikih tentang produk berbasis multiakad ini?

 

Muhammad (Jakarta)

 

Waalaikumusalam wr wb.

Menurut Standar Syariah Internasional AAOIFI, multiakad diperbolehkan selama tidak termasuk akad yang dilarang dalam nash, bukan untuk tujuan modus atau rekayasa pinjaman berbunga, dan bukan termasuk akad yang saling bertentangan. Kesimpulan ini berdasarkan telaah terhadap hadis, maqashid, standar syariah AAOIFI, Fatwa DSN MUI terkait.

Di antara karakteristik multiakad adalah pelaku, objek, dan pengaruh akadnya sama, serta antara dua akad yang bersyarat; beberapa akad yang didesain menjadi satu paket akad yang memiliki tahapan dan bagian-bagian akad. Pada umumnya, desain akad ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan nasabah.

Contohnya, KPR dengan akad IMBT yang terdiri atas akad ijarah dan jual beli, produk KPR dengan akad musyarakah mutanaqisah yang terdiri atas akad syirkah, ijarah dan jual beli, dan produk gadai emas yang terdiri atas qardh, rahn, dan nafaqatul marhun.

Pada prinsipnya, multiakad diperbolehkan jika terhindar dari unsur-unsur berikut. Pertama, tidak termasuk akad yang dilarang untuk digabungkan oleh nash. Seperti menggabungkan transaksi pinjaman dan jual beli, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Tidak boleh menggabungkan transaksi pinjaman dan jual beli ...” Menurut para ulama, kombinasi akad jual beli dan pinjaman tidak diperkenankan jika menjadi modus pinjaman berbunga.

Kedua, tidak menjadi rekayasa (hilah ribawiyah) atau menyebabkan pada riba, seperti bai’ al ‘inah, di mana para pihak bertransaksi jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan dua akad yang diperjanjikan. Menggabungkan antara pinjaman dan transaksi bisnis (seperti menjual sesuatu dengan syarat pembeli memberikan sesutu kepada penjual sebagai hadiah).

Ketiga, akad-akad yang digabung bukan termasuk akad-akad yang tidak boleh digabung (karakter akadnya) atau akibat hukumnya bertentangan. Contohnya adalah memberikan barang kepada seseorang dengan syarat menyewakannya kepada pihak pemberi tersebut, menggabungkan antara akad mudharabah dan qardh, menggabungkan antara akad sharf dan ju’alah, menggabungkan antara akad ijarah dan jual beli. (AAOIFI, //al-Mi’yar asy-Syar’i// [Bahrain, AAOIFI], no 25).

Kesimpulan dan kriteria tersebut karena tidak ada dalil yang melarangnya sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum Muslimin, kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." Juga kaidah fikih. Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya (al-Asybah wa an-Nadzair, hlm 10).

Hal tersebut sebagaimana juga maqashid disyariatkannya akad tersebut untuk memperjelas hak dan kewajiban para pihak akad sehingga setiap pihak mendapatkan haknya. Karena nash Alquran dan hadis yang menyebutkan beberapa akad (seperti jual beli dan bagi hasil), kemudian para ulama menjelaskan rukun dan syarat akad tersebut. Akad-akad tersebut muncul karena tuntutan hajat masyarakat pada saat itu. 

Jika masyarakat saat ini membutuhkan akad baru untuk memenuhi hajatnya, diperbolehkan selama tidak melanggar prinsip-prinsip dalam muamalat. Ibnu al-Qayyim mengatakan: "Pada prinsipnya, setiap akad dan syarat yang disepakati dalam akad itu hukumnya sah kecuali akad dan syarat yang dilarang syara."

Oleh karena itu, mayoritas ulama, termasuk mazhab Hanabilah dan Syafi’iah memperbolehkan multiakad. Mereka menegaskan, jika setiap unsur akad yang ada dalam multiakad hukumnya sah, maka gabungan akad tersebut juga sah (qiyas al-majmu’ ‘ala ahadiha). 

Dengan demikian, produk-produk multiakad LKS yang mengacu pada fatwa DSN MUI itu telah sesuai dengan syariah sebagaimana penjelasan di atas. Wallahualam.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement