Kamis 28 Jun 2018 11:57 WIB

Amnesty Desak Myanmar Diseret ke Pengadilan Internasional

Amnesty menilai Myanmar telah melakukan kekejaman terhadap Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Seorang anak Rohingya menatap dari balik rumah darurat di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Seorang anak Rohingya menatap dari balik rumah darurat di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Lembaga hak asasi manusia (HAM) dunia Amnesty International mendesak Dewan Keamanan PBB menyeret Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Ini berkiatan dengan kejahatannya terhadap kemanusiaan di bawah Statuta Roma.

Dalam laporan setebal 186 halaman yang diterbitkan pada Rabu (27/6), Amnesty menyelidiki kekejaman militer Myanmar terhadap etnis Rohingya. Amnesty menyatakan,  jenis kejahatan ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah hukum internasional.

Laporan yang berjudul "Myanmar: We will Destroy Everything: Military Responsibility for Crimes Against Humanity in Rakhine State" juga menyebut 13 orang terkait dengan militer Myanmar. Mereka adalah tokoh yang memiliki peran kunci dalam melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya.

Baca juga,  Aung San Suu Kyi: Tak Ada Pembersihan Etnis Rohingya.

Satu di antara 13 orang itu adalah Jenderal Min Aung Hlaing. Ia adalah panglima pertahanan yang telah memainkan peran penting dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Kejahatan-kejahatan ini adalah pembunuhan, penyiksaan, deportasi atau pemindahan paksa, pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya, penganiayaan, penghilangan paksa, dan tindakan tidak manusiawi lainnya, seperti kelaparan yang dipaksakan," kata Amnesty dalam laporannya.

Ketika menyusun laporan ini, Amnesty melakukan lebih dari 400 wawancara dengan para Rohingya yang selamat dari kekejaman militer Myanmar. Wawancara dilakukan pada September 2017 hingga Juni 2018.

Laporan ini juga mengacu pada analisis ekstensif terhadap citra dan data satelit, pemeriksaan medis forensik foto-foto cedera, materi foto dan audio yang diautentikasi oleh Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara, dokumen rahasia (terutama pada struktur komando militer Myanmar), investigasi dan analisis terbuka.

Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi di negara bagian Rakhine pada Agustus tahun lalu. Operasi digelar dalam rangka memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Namun dalam pelaksanaannya pasukan atau para tentara Myanmar turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana.

PBB menyatakan apa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement