Selasa 03 Jul 2018 10:14 WIB

Korsel Potong Waktu Kerja 16 Jam Sepekan

Pemotongan jam kerja karena kekhawatiran penurunan tingkat kesuburan warga

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Bilal Ramadhan
Jenuh Bekerja. Ilustrasi
Foto: News
Jenuh Bekerja. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan (Korsel) telah memangkas jam kerja maksimumnya dari 68 jam menjadi 52 jam sepekan. Undang-Undang (UU) pembatasan jam kerja karyawan yang mulai berlaku Ahad (1/7) itu, mendapatkan dukungan luar biasa di Majelis Nasional.

"Perubahan ini cukup menarik. Saya pikir ini adalah langkah yang baik ke arah yang benar. Saya tahu mereka (pemerintah) sangat khawatir mengenai penurunan tingkat kesuburan sebagai bagian dari masalah ekonomi. Mereka juga khawatir akan kesehatan karyawan," ujar Ellen Kossek, profesor manajemen di Purdue University Krannert School of Management.

CNN melaporkan, Korsel memiliki jumlah jam kerja tertinggi ketiga di dunia dari 37 negara yang dilacak oleh Organisation for Economic Co-operation and Development. Rata-rata penduduk Korsel bekerja sekitar 2.024 jam pada 2017, atau sekitar 38,9 jam sepekan.

Penduduk Meksiko tercatat memiliki jam kerja terbanyak dengan rata-rata 2.257 jam para 2017, atau sekitar 43,4 jam sepekan. Sementara Kosta Rika menempati posisi kedua dengan jam kerja 2.179 jam pada 2017, atau 41,9 jam sepekan.

Jerman dan Denmark memiliki jumlah jam kerja paling sedikit dengan rata-rata 1,356 dan 1,408 jam masing-masing pada 2017, atau 26 dan 27 jam sepekan. UU mengharuskan pemotongan jam kerja ini segera diberlakukan oleh perusahaan yang memiliki lebih dari 300 karyawan.

Sementara perusahaan-perusahaan yang lebih kecil bisa memberlakukannya pada 2020 dan 2021. Korsel mengalami pertumbuhan pesat setelah Perang Dunia II yang didukung oleh sejumlah faktor, termasuk jam kerja yang panjang, pendidikan yang lebih banyak, dan peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan.

"Keajaiban ekonomi itu akan sulit untuk dipertahankan tanpa bekerja dengan jam kerja yang panjang atau penggantian angka kelahiran," kata Kossek.

Karena perempuan di Korsel rata-rata memiliki 1,2 anak per kapita, negara tersebut menjadi salah satu negara dengan tingkat kesuburan terendah di dunia, menurut data dari Bank Dunia. Penduduk yang cepat menua juga turut memperumit masalah ini.

Sejumlah penelitian menunjukkan, bekerja di luar batas tertentu bisa menimbulkan reaksi negatif terhadap kesehatan, termasuk munculnya penyakit jantung koroner. Jeffrey Pfeffer, profesor di Graduate School of Business di Stanford University, berpendapat tingginya jam kerja dapat membuat karyawan kehilangan kesehatan dan perusahaan kehilangan pemasukan.

Setelah titik tertentu, produktivitas pekerja akan menurun. Lembur yang ekstrem juga mungkin bukan merupakan ide yang baik. "Ketika Anda lelah, Anda tidak akan bekerja secara efisien. Ini adalah salah satu alasan mengapa orang-orang yang harus waspada saat melakukan pekerjaan mereka, seperti sopir truk dan pilot pesawat, selama bertahun-tahun memiliki jam kerja terbatas," kata Pfeffer.

"Anda lebih mungkin untuk membuat kesalahan ketika Anda bekerja di saat lelah, dan Anda pasti kurang kreatif atau produktif. Jauh lebih mudah untuk mencegah kesalahan daripada mencoba mencari kesalahan dan memperbaikinya," tambah dia.

Di seluruh dunia, angka bunuh diri telah semakin meningkat dan orang-orang menunda menikah atau memiliki anak. Hal ini akan mengarah pada ketidakstabilan sosial jangka panjang. Membatasi jam kerja adalah salah satu solusi yang harus disertai dengan inisiatif strategis lainnya, seperti cuti keluarga berbayar dan membayar izin sakit.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement