REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan Indonesia perlu lebih keras lagi dalam menggenjot ekspor sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penaikan suku bunga acuan dinilai hanya berdampak singkat.
"Meningkatkan nilai ekspor akan jauh lebih efektif daripada kebijakan berupa intervensi pasar yang sudah dilakukan sebelumnya," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Novani Karina Saputri di Jakarta, Selasa (10/7).
Menurut Novani, kebijakan Bank Indonesia (BI) yang merespons kenaikan suku bunga The Fed dengan turut meningkatkan suku bunga acuan hanya efektif untuk jangka pendek. Hal ini, lanjutnya, juga tidak memberikan dampak signifikan terhadap kestabilan nilai tukar rupiah.
Baca juga, Pemerintah akan Bangun Pusat Ekonomi di Luar Jawa
Peningkatan nilai ekspor, ujar dia, juga penting untuk menstabilkan kembali neraca perdagangan. Ia mengingatkan bahwa neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit antara lain karena nilai impor migas mengalami peningkatan.
"Impor migas Mei 2018 meningkat sebanyak 20,95 persen dibandingkan dengan bulan April dan meningkat 57,17 persen dibandingkan dengan bulan Mei 2017," tuturnya.
Untuk itu, ujar dia, BI dan pemerintah harus terus mencari upaya untuk meningkatkan potensi ekspor. Novani berpendapat bahwa tidak selamanya BI dapat mengandalkan BI 7 days Repo Rate dan intervensi ganda melalui pasokan valas dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dollar.
"Daripada terus-terusan merespons kenaikan suku bunga The Fed dengan menaikkan suku bunga acuan dan intervensi pasar lainnya, BI sebaiknya bekerja sama dengan pemerintah untuk sama-sama meningkatkan nilai ekspor," ucapnya. Apalagi, ujar dia, Indonesia punya banyak potensi ekspor yang potensial untuk digenjot produktivitasnya.
Baca juga, Ini Syarat Pertumbuhan Ekonomi Bisa Enam Persen