REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Central Asia, Tbk (BCA) menyambut positif kebijakan pelonggaran makroprudensial sektor perumahan berupa kelonggaran loan to value (LTV) dari Bank Indonesia yang akan diberlakukan awal Agustus 2018. Kebijakan pelonggaran tersebut akan dimanfaatkan BCA untuk menyasar nasabah kredit pemilikan rumah (KPR) segmen menengah ke bawah.
Direktur Transaksional Banking BCA, Santoso, mengatakan, selama ini BCA menyasar nasabah KPR segmen menengah ke atas. Sebab, rata-rata pinjaman KPR di segmen menengah ke atas hanya tiga sampai lima tahun. Sehingga rata-rata rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) cenderung kecil.
Santoso menegaskan, BCA tidak menyediakan produk KPR dengan uang muka atau down payment (DP) nol persen. BCA justru mempersiapkan KPR lebih murah dengan menyasar segmen menengah ke bawah. "Kami explore kemungkinan DP 5 persen tapi hanya kerja sama dengan developer-developer tertentu," kata Santoso kepada wartawan di Jakarta, Rabu (11/7).
Namun, BCA masih menunggu kebijakan pelonggaran LTV tersebut dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada Agustus mendatang. BCA juga belajar dari tahun-tahun sebelumnya jika nantinya pertumbuhan KPR di perbankan tidak terkendali.
Nominal KPR pada segmen menengah ke bawah di antara Rp 250 juta sampai Rp 500 juta. Sedangkan menengah ke atas nominalnya di atas Rp 500 juta.
"Yang penting apakah orang punya kapabilitas bayar KPR. BCA akan melihat kapan nasabah buka rekening, rekeningnya aktif atau tidak, dan income nasabah tersebut," terangnya.
Santoso menambahkan, untuk tahap awal BCA akan memulai kerja sama dengan dua atau tiga developer. Wilayah pertama yang disasar di Jabodetabek. Namun dia juga memperkirakan portofolio KPR segmen menengah ke bawah tidak besar.
Sehingga tidak akan banyak berpengaruh terhadap rasio NPL di BCA. Saat ini NPL KPR BCA di bawah 1 persen. Secara keseluruhan, BCA menargetkan pertumbuhan KPR sebesar 15 persen sampai akhir tahun 2018.
Menurutnya, kebijakan pelonggaran LTV yang dilakukan Bank Indonesia karena melihat kondisi perekonomian yang gonjang-ganjing diperlukan relaksasi untuk menggerakkan sektor perumahan. Sebab, jika sektor perumahan bergerak, maka pegawai mendapatkan pemasukan, kemudian perusahaan semen, pasir dan besi ikut terangkat.
"Ini positif karena akan mengerakkan sektor ekonomi lain. Risiko ada kenaikan tapi di sisi lain bunga juga ada kenaikan. Ada aspek risiko. Tapi BI ada mitigasi," ujarnya.
Santoso menyatakan, pertumbuhan sektor perumahan justru lebih banyak didorong pembelian rumah pertama (primary). Dalam kondisi perekonomian saat ini, penjualan rumah pertama dinilai akan tetap naik.
Sedangkan yang agak menurun justru pembelian rumah kedua dan ketiga. Sebab, orang membeli rumah kedua dan ketiga biasanya untuk investasi. Misalnya di Jakarta, pembelian rumah kedua dan ketiga menurun karena harga jual tidak lebih tinggi. Hal itu dikarenakan permintaan menurun.
Selain itu, adanya peningkatan nilai jual objek pajak (NJOP). "Kedua, dengan infrastruktur yang membaik, namanya second city dan tersier city naik. Pertumbuhan akan lebih banyak terjadi di kota kedua dan ketiga," ungkapnya.