Rabu 18 Jul 2018 17:32 WIB

Pengamat: Warga Miskin Turun karena 'Suntikan Sesaat'

Lebih baik pemerintah mendorong produktivitas masyarakat.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Teguh Firmansyah
Pemukiman kumuh warga miskin
Foto: Pandega/Republika
Pemukiman kumuh warga miskin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan tingkat kemiskinan hingga 9,82 persen dinilai merupakan angka yang 'semu' karena tidak seiring dengan peningkatan produktivitas masyarakat serta peningkatan kualitas hidup.

Turunnya tingkat kemiskinan juga ditopang lewat peningkatan bantuan sosial (bansos) hingga 87 persen dari September 2017 - Maret 2018, sedangkan perode sebelumnya hanya 3 persen. "Ini yang menjadi indikasi kemiskinan turun karena dikasih suntikan sesaat. Jadi ini cuma angka 'semu'," ujar Pengamat Indef Ahmad Heri Firdaus kepada Republika.co.id, Rabu (18/7).

Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, anggaran bansos yakni sebesar Rp 77,26 triliun. Hingga kini tercatat realisasi penyaluran bansos telah mencapai 99 persen. Berbagai bentuk bansos seperti bantuan pangan non tunai (BPNT), beras sejahtera (rastra) dan program keluarga harapan (PKH) telah terealisasi. Selain itu, penyaluran bansos ini juga bertepatan dengan momen Pilkada serentak.

"Timingnya juga pas ya, menjelang Pilkada ada rastra dan bansos. Selama masa kampanye ada periode dimana masyarakat desa mendapatkan bantuan sosial dan rastra ya," kata Ahmad.

Baca juga, Pemerintah Siapkan Insentif untuk Keluarga Rentan Miskin.

Ahmad menilai, program bansos ini memang baik untuk masyarakat, namun seharusnya pemerintah lebih mendorong produktivitas masyarakat. Agar bisa menaikkan kualitas hidup dengan mendorong penghasilan mereka meningkat.

Karena meskipun data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka ketimpangan atau rasio gini turun dari 0,391 per September 2017 menjadi 0,389 per Maret 2018, namun rasio ini tidak mencerminkan penurunan ketimpangan.

Mengacu pada data BPS, ketimpangan yang turun terjadi karena porsi pengeluaran penduduk kaya atau kelompok 20 persen teratas berkurang dari 46,4 persen menjadi 46,09 persen. Penurunan ini sedikit sekali.

Baca juga, Ekonom: Warga Miskin Turun karena Bansos dan Sedang Panen. 

Sedangkan porsi pengeluaran penduduk miskin atau 40 persen terbawah hanya naik sedikit dari 17,12 persen ke 17,29 persen dalam satu tahun terakhir. Ia menduga ini karena didorong oleh bansos dan rastra yang naik signfikan. "Jadi bukan karena perbaikan kualitas hidup dan produktivitas. Jadi semu. Kalau bansos sudah habis dan tidak ditambahin lagi apa akan balik lagi ke garis kemiskinan?" ujarnya.

Sementara itu alokasi dana desa pada tahun 2018 yakni sebesar Rp 60 triliun. Namun ketimpangan yang masih tinggi di desa menunjukkan bahwa penyerapan dana ini tidak tepat sasaran. Mekanisme pengelolaan dana ini patut dipertanyakan.

Ia menilai hal ini karena kurangnya pengawasan dalam penyaluran dana desa. Seharusnya dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, harus ada yang bertanggung jawab dengan dana yang besar ini. Apalagi tahun depan dana desa akan ditambahkan lagi.

"Jadi bagaimana mekanisme pengelolaannya? Apakah hanya diterima segelintir orang di desa? Kalau tingkat ketimpangan masih tinggi, ini indikasi bahwa dana desa tidak memeratakan distribusi pendapatan desa," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement