Senin 06 Aug 2018 06:51 WIB

Indef: Pelemahan Rupiah Hambat Pertumbuhan Ekonomi

Pelemahan rupiah berdampak ke industri dengan bahan baku impor.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas menata tumpukan uang rupiah di Cash Center Bank Mandiri,Jakarta, Senin (23/7).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menata tumpukan uang rupiah di Cash Center Bank Mandiri,Jakarta, Senin (23/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang kuartal kedua tahun 2018 sebesar 5,1 persen.

Penopang pertumbuhan hanya bersumber dari tingkat konsumsi masyarakat. Sedangkan kontribusi industri dan investasi diprediksi terhambat akibat instabilitas nilai rupiah.

Peneliti Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan, depresiasi rupiah akan memberikan efek negatif karena hingga saat ini belum menemukan titik keseimbangan. Efek negatif tersebut terutama dirasakan industri prioritas yang masih bergantung pada bahan baku impor. Industri tersebut, lanjut dia, yakni sektor makanan minuman (mamin) dan farmasi.

“Sektor mamin 70 persen bahan baku berasal dari impor dan farmasi 90 persen impor. Ada dampak yang cukup besar akibat pelemahan rupiah,” ujar Andry kepada Republika.co.id, Ahad (5/8).

Baca juga, Pertumbuhan Ekonomi Diproyeksi Lebih Tinggi.

Hingga akhir pekan lalu, Jumat (3/8), Jakarta Interbank Spot Dollar (JISDOR) Bank Indonesia mencatat, rata-rata rupiah diperdagangkan sebesar Rp 14.503 per dolar AS. Andry mengatakan, semakin lemah nilai rupiah maka kian mahal harga impor bahan baku kedua industri tersebut. Kondisi tersebut akhirnya berimbas pada melebarnya nilai impor dan memicu defisit perdagangan.

Merespons hal tersebut, pemerintah berencana untuk membatasi impor bahan baku. Andry mengatakan, kondisi sektor industri akan makin jatuh jika impor bahan baku dibatasi. Sebaiknya, pembatasan impor diarahkan pada barang-barang konsumsi yang bisa diproduksi di dalam negeri.

Dia menambahkan, berdasarkan rangkuman data BPS, kurun waktu 2014 hingga kuartal pertama 2018, pertumbuhan impor barang konsumsi juga lebih cepat ketimbang impor bahan baku. “Rata-rata pertumbuhan impor barang konsumsi rata-rata 6 persen per tahun sedangkan impor bahan baku hanya 3 persen,” ujar dia.

Kondisi tersebut membuat sektor industri dan investasi diprediksi tak menopang banyak pertumbuhan ekonomi. Alhasil, kenaikan pertumbuhan ekonomi tidak akan signifikan.   “Jadi, paling penopang pertumbuhan ekonomi hanya dari konsumsi masyarakat saat momen lebaran saja,” katanya.

Meski demikian, Andry meyakini pertumbuhan konsumsi walau meningkat, tidak akan mencapai 5 persen. Sebab alokasi keuangan masyarakat diprioritaskan untuk tahun ajaran baru sekolah. Di sisi lain, ada peningkatan harga bahan pokok yakni daging ayam ras dan telur ayam. “Sepertinya sulit konsumsi bisa tumbuh di level 5 persen,” kata dia.

Hari ini, Badan Pusat Statistik akan merilis laju pertumbuhan ekonomi kuartal kedua 2018. Pada kuartal pertama tahun 2018, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,06 persen. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement