REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Uni Eropa bertekad melawan dan memblokade sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran. AS diketahui baru saja mengaktifkan sanksi ekonomi baru setelah hengkang dari kesepakatan nuklir Iran.
Uni Eropa, dalam sebuah pernyataan pada Senin (6/8) menyatakan keprihatinan atas dijatuhkannya sanksi baru terhadap Iran. "Kami sangat menyesalkan pengenaan sanksi oleh AS," katanya.
Sanksi ekonomi diberlakukan kepada Iran dengan menyasar sektor perbankan yang meliputi pembelian atau akuisisi uang kertas AS oleh pemerintah Iran. Selain itu, sanksi termasuk perdagangan emas dan logam mulia Iran, grafit, aluminium, baja, batu bara dan perangkat lunak yang digunakan dalam proses industri.
Sanksi juga memberikan dampak terhadap transaksi terkait mata uang rian Iran, kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan utang luar negeri hingga sektor otomotif Teheran. Tahap kedua dari sanksi itu rencananya diberakukan pada 5 November nanti yang membidik sektor energi, perdagangan migas dan transaksi oleh lembaga keuangan asing dengan Bank Sentral Iran.
Kendati demikian, Uni Eropa akan berusaha mengikis dampak yang berpotensi ditimbulkan dari sanksi tersebut, khususnya bagi perusahaan-perusahaan Eropa yang berbisnis dengan Iran. Satu upaya yang ditempuh Uni Eropa adalah memberlakukan undang-undang (UU) pemblokiran sanksi.
Undang-undang itu melarang warga Uni Eropa mematuhi sanksi AS atau putusan pengadilan terkait. Sebab sanksi itu dinilai melanggar karena di luar batas AS. "Jika mereka (sanksi) diterapkan, maka orang itu bisa pergi ke pengadilan untuk memulihkan kerugian tersebut," ujar pejabat senior Uni Eropa.
Aturan juga mengatur bahwa setiap perusahaan Eropa harus mengajukan permohonan otorisasi Uni Eropa jika ingin menghentikan operasi bisnisnya di Iran dengan maksud mematuhi sanksi AS. Sebab, Uni Eropa telah berjanji akan mempertahankan arus keuangan, termasuk ekspor minyak dan gas Iran.
Meskipun ada protes dari sekutu Eropa, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo telah mengatakan Washington akan sepenuhnya memberlakukan sanksi terhadap Iran. Sanksi gelombang pertama mulai berlaku pada Senin (6/8), menargetkan sektor perbankan Iran. AS akan memberlakukan sanksi gelombang kedua pada 4 November. Sanksi berikutnya mengincar sektor energi, terutama minyak Iran.
Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan nuklir atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada Mei lalu. Trump menilai JCPOA adalah kesepakatan yang cacat. Sebab dalam JCPOA tak diatur tentang program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya selepas 2025, dan perannya dalam konflik Yaman serta Suriah.
AS menuntut agar JCPOA direvisi. Namun Iran menolak tegas gagasan tersebut. Teheran berpendapat AS telah melanggar janjinya dengan hengkang dari JCPOA. Jerman, Prancis, Cina, dan Uni Eropa pun mengambil sikap berlawanan dengan AS. Mereka berkomitmen mempertahankan JCPOA. Menurut mereka, kesepakatan tersebut masih relevan dan berfungsi untuk menjaga stabilitas di kawasan.
JCPOA disepakati pada Oktober 2015. Kesepatan tersebut dicapai melalui negosiasi yang panjang dan alot antara Iran dengan AS, Cina, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris, dan Uni Eropa. Inti dari JCPOA adalah memastikan bahwa penggunaan nuklir Iran terbatas untuk kepentingan sipil, bukan militer. Sebagai imbalannya, sanksi ekonomi Iran akan dicabut.
Baca: Rouhani Tuding AS Ingin Perang Urat Saraf dengan Iran