Kamis 09 Aug 2018 18:49 WIB

Rusia Kencam Sanksi AS

Rusia menilai tak ada bukti Moskow sebagai dalang penyerangan Skripal.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Amerika Serikat dan Rusia
Foto: IST
Amerika Serikat dan Rusia

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia mengecam penjatuhan sanksi ekonomi terhadapnya oleh Amerika Serikat (AS). Sanksi terbaru yang dijatuhkan AS berkaitan dengan dugaan keterlibatan Rusia dalam penyerangan agen ganda Rusia Sergei Skripal di Salisbury, Inggris.

Wakil pertama utusan Rusia untuk PBB Dmitry Polyanskiy mengatakan, sanksi terbaru AS merupakan 'teater absurd'. Sebab belum ada bukti dan petunjuk valid bahwa Rusia merupakan dalang di balik penyerangan Skripal.

Semuanya hanya sebatas kemungkinan besar. "Hanya satu aturan, menyalahkan semua yang ada di Rusia, tidak peduli seberapa absurd dan palsu itu," kata Polyanskiy pada Kamis (9/8) seperti dikutip laman the Guardian.

"Mari kita sambut United Sanctions of America!," ujar Polyanskiy mengejek akronim United States of America.

AS mengumumkan sanksi ekonomi terbaru terhadap Rusia pada Rabu (8/8). Sanksi akan mulai berlaku pada 22 Agustus. Adapun sanksi tersebut membidik semua perusahaan negara atau perusahaan yang didanai Rusia.

Baca juga, AS Ancam Sanksi Rusia Terkait Racun Novichok.

Sanksi mencakup ekspor daftar peralatan yang dianggap sensitif terhadap kemanan nasional, termasuk mesin turbin gas, sirkuit terpadu, dan peralatan kalibrasi yang digunakan dalam avionik.

Setelah pengumuman sanksi itu, saham Aeroflot, maskapai penerbangan nasional Rusia, turun 12 persen dalam perdagangan sebelum jam makan siang pada Kamis. Hal itu karena muncul kekhawatiran penerbangan langsung antara Rusia dan AS dapat dihentikan sepenuhnya. Kemudian mata uang rusia, rubel, jatuh 66 poin terhadap dolar AS.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan, sanksi baru kemungkinan akan diikuti langkah-langkah yang lebih luas, seperti menangguhkan hubungan diplomatik dan mencabut hak mendarat Aeroflot. Hal itu dapat dihindari bila Rusia mengambil tindakan perbaikan dalam 90 hari.

Salah satunya adalah membuka fasilitas ilmiah dan keamanan Rusia guna kepentingan inspeksi internasional. Pembukaan akses ke fasilitas itu juga penting untuk memastikan apakah Rusia memproduksi senjata kimia atau biologi yang melanggar hukum internasional.

"Tentu saja terserah Rusia untuk membuat keputusan itu, apakah mereka memenuhi kriteria ini. Sanksi putaran kedua, secara umum, lebih kejam dari putaran pertama," kata seorang pejabat senior pemerintah AS.

Saat ini Rusia tengah terlibat perselisihan diplomatik dengan Inggris, AS, dan beberapa negara Eropa. Hal itu dipicu aksi penyerangan Sergei Skripal dan putrinya Yulia Skripal di Salisbury, Inggris, pada awal Maret lalu.

Baca juga,  Warga Inggris Terkena Racun Novichok Mulai Sadar.

Skripal merupakan agen ganda yang pernah bekerja di dinas intelijen luar negeri Rusia. Ia dan anaknya diserang menggunakan agen saraf novichok.

Inggris menuding Rusia menjadi dalang aksi penyerangan Skripal. Tudingan itu dibantah tegas oleh Rusia. Namun bantahan itu diabaikan Inggris. Pada 15 Maret lalu Inggris memutuskan mengusir 23 diplomat Rusia dari negaranya.

Tindakan itu segera dibalas Rusia dengan melakukan hal serupa, yakni mengusir 23 diplomat Inggris dan menutup British Council di sana.

Belakangan sejumlah negara Eropa, termasuk AS dan Australia turut melakukan pengusiran terhadap diplomat-diplomat Rusia. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dukungan mereka terhadap Inggris.

Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan negaranya tidak lagi memiliki senjata kimia, termasuk novichok. Semua senjata kimia milik Rusia, kata Putin, telah dihancurkan di bawah pengawasan Organisasi Larangan Senjata Kimia (OPCW).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement