Rabu 29 Aug 2018 08:00 WIB
Obrolan Dialog Jumat

Tak Mudah Jadi Chef ‘Halal’

Chef Herman: Masakan di Indonesia ini sebetulnya infiltrasi budayanya banyak

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Agung Sasongko
Halal
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi seorang juru masak atau chefyang berkecimpung di dunia makanan dan bersentuhan dengan segala jenis bumbu maupun bahan masakan untuk menghadirkan makanan yang 100 persen halal. Hal ini dialami langsung oleh R Muhammad Suherman atau biasa dikenal chef Herman.

Sejak 1995, dia secara profesional menekuni pekerjaan di dapur dan menghidangkan berbagai makanan kepada konsumen yang datang ke tempat kerjanya. Mulai dari bekerja di restoran, hotel, kapal pesiar, rumah sakit, hingga menjadi konsultan makanan telah dia jalani.

Namun, perlahan-lahan rasa tidak nyaman dan tersiksa ia rasakan. Dalam dirinya mulai terjadi pertentangan ketika harus mengolah makanan menggunakan bahan- bahan haram dan disajikan kepada konsumen Muslim.

Seiring berkembangnya karier yang dia puncaki, keresahan akan olahan makanannya yang dihidangkan untuk berbagai kalangan termasuk umat Muslim membuat dia goyah. Hingga akhirnya dia memutuskan hijrah dan keluar dari dunia dapur yang penuh bahan haram tersebut. Dia memilih bekerja di rumah makan maupun hotel yang menyediakan makanan halal seperti resto Arab.

Yang memperkuat saya ingin hijrah itu karena saya mau menikah. Saya berpikir, saya nggak mau nanti ngasih makan anak dan istri saya dari hal yang haram. Itu saya menikah pada 2003. Saya shalat tobat dulu, dan dari situ saya menjauh, katanya.

Namun, tidak segampang itu untuk hijrah dan chef Herman pun mengalaminya. Kisah perjalanan Suherman dituturkan secara langsung kepada wartawan Republika, Zahrotul Oktaviani, berikut petikan perbincangannya:

Bagaimana cerita awal Anda terjun di dunia masak dan chef?

Saya itu sebetulnya nggak niat banget mau jadi chef. Awalnya ketika lulus SMP, saya maunya cari sekolah yang negeri karena semua kakak saya sekolah negeri.Tapi, waktu itu NEM saya kecil dan itu membuat saya berpikir, nggak mungkin saya diterima di negeri dengan nilai segitu.

Akhirnya mutar otak, bisa negeri asal sekolah kejuruan. Akhirnya saya ambil di sekolah yang sekarang namanya SMK 27 di daerah Pasar Baru. Dulu tuh pokoknya sekolah negeri aja dulu. Setelah saya lulus, kok klop sama saya. Akhirnya berlanjut. Lalu saya mulai di dunia kerja sekitar sebulan setelah lulus. Cuma memang saya kerjanya dari dasar, dari awal. Dari cuci piring lalu naik sampai umur 21 saya jadi chef.

Pengalaman awal dari staf rumah sakit, restoran, kapal pesiar, sampai hotel. Pengalaman terakhir di Restoran Fine Dining di Kemang waktu itu umur 21 tahun, tepatnya 1995.

Ada konsekuensi tertentu setelah hijrah?

Waktu itu sih belum ya, ketika awal- awal. Mungkin karena ilmu halal haramnya masih sedikit, awam. Tapi, ketika betul-betul tahu, mau tidak mau kan harus dilakukan. Nah, ketika saya lebih paham, akhirnya saya balik kanan dan terjun bebas. Saya tinggalkan semua tanpa pikir panjang. Mulailah sosialisasi itu datang.

Setelah memutuskan hijrah, apakah ada ujian lain?

Cobaan itu mulai muncul kemudian setelah saya menikah. Awalnya usai menikah saya hanya menghindari bekerja di restoran Barat atau Cina dan Jepang. Saya memilih kerja di resto Arab.

Ternyata setelah itu saya dapat tawaran jadi executive chefdi restoran Prancis. Itu sebetulnya hal yang prestisius bagi seorang chef. Menjadi executivechef di resto Prancis. Akhirnya kesempatan itu saya ambil.

Tetapi, ternyata Allah punya jalan lain. Saya jadi lebih paham, lebih mengenal secara mendalam tentang halal dan haram pada makanan. Allah berkehendak mencemplungkan saya ke komunitas My Halal Kitchen.

Waktu itu hanya grup Facebook dan isinya banyak ibu-ibu. Saya diminta jadi kontributor. Kok makin lama pertanyaan yang muncul juga bikinbanyak ilmu masuk. Sudahlah setelah itu saya lepas jabatan saya sebagai executive chef.

Titel chef Halal Indonesia itu betul-betul cleansing bagi saya. Jadi, sama Allah betul-betul itu dibersihkan dulu. Kalau buat saya pribadi, ada di satu titik yang dimana anak saya minta mineral gelas saja saya nangis. Ini karena saya tidak mampu untuk membelikan. Ini betul-betul titik terendah saya.

Jadi, singkat cerita, tiga bulan saya tidak mendapat pekerjaan. Selama 1,5 bulan itu masih tidak masalah karena masih ada sisa pendapatan sebelumnya. Tapi, makin ke sini, tidak ada lagi.

Yang bisa saya lakukan hanya berdoa. Saya pernah jalan dari rumah di daerah Kemang, jalan cari masjid setiap hari. Itu selain untuk mengisi aktivitas juga untuk berdoa. Di titik akhir menurut saya, saya jalan ke Masjid Istiqlal, saya jalan kaki dari rumah karena memang tidak punya uang.

Esok harinya seperti rezeki saya tiga bulan itu yang dihentikan, ditutup, atau mampat kalau bahasa saya, lalu ketika Allah mungkin menilai saya sudah cukup diuji, saya sudah pasrah, bertawakal setiap hari, ini dirapal rezeki saya. Dikucurkan semua. Saya dapat pekerjaan menjadi seorang konsultan untuk sebuah resto yang bisa memberikan DP di muka. Kejadiannya pada 2014 lalu.

Sekarang, alhamdulillah sudah membaik dan terus membaik. Sekarang sudah tidak ada rasa takut lagi. Insya Allah perasaan takut tidak punya rezeki itu hilang. Dulu ada, tapi sekarang sepenuhnya berserah dan bertawakal.

Sejauhmana Anda bersentuhan dengan zat haram dalam profesi Anda?

Masakan di Indonesia ini sebetulnya infiltrasi budayanya banyak, latar belakang masyarakat yang banyak membuat menu masakannya juga banyak. Suka tidak suka, kita ke manapun di resto western, Chinese, atau Jepang, menjadi bagian budaya mereka untuk menggunakan bahan baik khamr, wine, atau sake. Itu budaya mereka, dan buat kita itu memang tidak bisa.

Contohnya di hotel bintang lima, mau dari breakfastsampai dinneritu ada syarat wajibnya, ada pasti standarnya. Harus menyediakan menu a, b, c, d. Kurang lebih itu. Memang perlu kehati-hatian kita sebagai chef. Titik kritis atau tidak halalnya memang banyak untuk tempat-tempat seperti itu.

Tapi, kalau untuk hotel dan resto, jika belum bersertifikat halal maka itu pasti banyak makanan haramnya. Tapi, kan ada yang sudah bersertifikat itu. Itu tergantung skala bintang juga. kalau sudah bintang banyak kaninternasional chain. Kita lihat tamu yang datang ke mereka banyaknya juga dari luar.

Ini berarti setiap chef bergantung dengan zat haram?

Tidak juga. Karena semua bisa kita lakukan tanpa bergantung dengan zat nonhalal tadi. Selama kita masih mau mencari dan belajar. Masih ada alternatif lainnya.

Lalu, bagaimana seorang chef dalam mengganti bahan nonhalal itu? Ada contohnya?

Sebetulnya Allah kan menciptakan hal haram hanya ada enam. Hanya enam ini saja yang haram, sisanya halal. Cuma memang di enam hal ini dahsyat rasanya, ini cobaan. Sekali coba, sudah tahu nikmatnya.

Itu adalah ujian untuk manusia khususnya kita sebagai chef yang mengolah makanan. Bisa tidak kita mencari pengganti?Bisa nggak kita tetap masak dengan enak tapi halal dan ini untuk menu yang sama.

Sebetulnya, kalau bicara unsur bahan pengganti, di dunia kitchen, tidak bisa global ditentukan. Contohnya wine, ini kategorinya banyak, jenisnya banyak, rasanya juga berbeda. Red wine juga ada jenisnya lagi dan di bawahnya. karakte ristiknya banyak.

Tidak bisa semena-mena diganti dengan jus anggur, begitu. Nah, ini kiita pelajari dulu unsur utamanya apa, resepnya kita bedah.

Kita tarik ulur dulu. Tidak bisa misal angciu diganti kecap dan jeruk. Harus tahu menu masakannya apa, rasanya bagaimana. Tidak mudah untuk mengglobalkan itu.

Asosiasi Chef Halal Indonesia (ACHI)sendiri bagaimana terbentuknya?

Awalnya karena saya diajak untuk ngobrol dengan LPPOM MUI. Tahun 2013.kemudian ACHI ini diresmikan di bawah bimbingan mereka. ACHI ini tidak ada rekrutmen anggota. Jadi siapapun yang ikhlas bergabug, silahkan. Sesimpel itu. Allahlah yang mengantarkan mereka ke kami.  Jumlah anggotanya sekarang 1.000 se-Indonesia.

ACHI ini agak beda dengan asosiasi chef lainnya.

Bedanya dari umurnya. Orang makin tua umur itu spiritualnya makin tinggi mungkin ya. Nah, ketika mereka sudah mulai meningkat nilai spiritualnya, mulai mencari yang baik. Jadi, rata-rata anggota ACHI ini sudah senior. Mayoritas begitu, meskipun tidak semua. Ada banyak yang bikin mereka tertarik untuk bergabung selain ingin menghidangkan makanan halal dan berkontribusi memberikan edukasi kepada masyarakat.

Anda terlibat dalam ACHI, bisa dijelaskan?

Kita ini basic-nya masih bergerak di edukasi. Kita bagikan ilmu. Beberapa sekolah masak di Jakarta maupun Indonesia juga banyak yang gabung ke kita. Kita berusaha mengingatkan barrier kita sebagai Muslim terhadap makanan. Kita ingin semua muslim bisa makan dengan tenang dimanapun.

Jadi, chef-nya yang kita edukasi, dari kepalanya.Lalu kita ada kelas-kelas untuk UKM, kita demo. Nah daripada masyarakat pena saran, kita demokan. Motto kami dakwah with action. Kalau sebagai chefngomongagama kanorang-orang juga aneh.Tapi, kalau kita masak, ya memng bidangnya, ahlinya. Nah, ini jadi pusat perhatian dan orang lebih paham dengan actionitu.

Bagaimana dengan respons masyaralat?

Dewasa ini, masya Allah. Tidak seperti dulu. Sekarang impact-nya luar biasa. Mereka lebih paham tentang halal dan haram khususnya untuk makanan. Bantuan media juga luar biasa untuk halal haram ini.Sekarang sudah tidak terlalu sulit hanya tinggal memperdalam dan memperbanyak atau memperluas ilmu-ilmunya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement