Senin 03 Sep 2018 23:41 WIB

Mengapa Krisis Argentina dan Turki Berpengaruh ke Rupiah?

Kinerja rupiah merupakan yang terburuk kedua di Asia setelah India.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolanda
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas menghitung pecahan dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta,Ahad (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin (3/9) sore melemah sebesar 126 poin menjadi ke Rp 14.815 dibandingkan posisi sebelumnya Rp 14.689 per dolar AS. Gejolak ekonomi di Turki dan Argentina membebani mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.

Rupiah merosot ke level terlemahnya terhadap dolar AS sejak krisis keuangan Asia 1998, mendorong bank sentral untuk meningkatkan upaya untuk menstabilkan mata uang. Bank Indonesia (BI) telah menekan cadangan devisanya hingga miliaran dolar AS dan telah menaikkan suku bunga empat kali sejak pertengahan Mei. 

Lalu, bagaimana pengaruh krisis Turki dan Argentina terhadap nilai tukar rupiah? Berikut penjelasannya, seperti dilansir di Bloomberg.

1. Apa yang memicu aksi jual?

Sebelum Argentina dan Turki memasuki mode krisis, pasar negara berkembang berada di bawah tekanan karena meningkatnya suku bunga AS dan dolar yang lebih kuat. Bagian dari daya tarik pasar negara berkembang adalah hasil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pasar negara maju. Ketika perbedaan itu jatuh karena Federal Reserve menaikkan biaya pinjaman, pasar negara berkembang menjadi kurang menarik. 

Secara lebih luas, krisis mata uang yang semakin mendalam di Argentina dan kekacauan di Turki telah mengurangi minat investor untuk memiliki aset berisiko. Hal ini mendorong keluarnya investor dari pasar negara berkembang ke tempat yang relatif aman di pasar negara maju.

2. Mengapa Indonesia menjadi sasaran?

Indonesia adalah salah satu dari beberapa pasar negara berkembang di Asia yang mengalami defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), seperti halnya India dan Filipina. Data terbaru menunjukkan CAD Indonesia melebar ke rekor tertinggi dalam empat tahun. 

Defisit ekonomi bergantung pada aliran masuk asing untuk membiayai kebutuhan impor, membuat negara berkembang rentan terhadap penurunan sentimen dan arus keluar yang tajam. 

Investor asing memiliki hampir 40 persen dari obligasi pemerintah Indonesia, di antara yang tertinggi dari pasar negara berkembang di Asia. Selain itu, pemerintah menjalankan defisit anggaran, yang berarti perlu meminjam untuk membiayai pengeluaran.

3. Seberapa parahkah mata uang dan saham yang ada?

Kinerja rupiah saat ini merupakan yang terburuk kedua di Asia setelah India. Namun, rupiah adalah mata uang yang paling terpukul sejak aksi jual pasar negara berkembang dimulai pada akhir Januari, melemah sekitar sembilan persen. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun lebih dari enam persen tahun ini, sementara imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun telah meningkat tahun ini yang tertinggi sejak akhir 2016.

4. Apa yang telah dilakukan bank sentral untuk menghentikan ini?

Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga dengan total 125 basis poin sejak Mei dan melakukan intervensi baik dalam mata uang dan pasar obligasi untuk mengekang kerugian. Upaya ini menguras cadangan devisa pada bulan Januari sekitar 14 miliar dolar AS hingga 118 miliar dolar AS pada bulan Juli. 

Bank sentral telah mengatakan siap untuk merespons volatilitas pasar yang berlebihan dan telah mempertahankan kebijakan moneter yang hawkish. Bank sentral mengkonfirmasi intervensi lebih lanjut di pasar mata uang dan obligasi pada 31 Agustus, karena rupiah jatuh ke level terendah terhadap dolar sejak 1998. 

Pemerintah juga melakukan upaya untuk menopang pasokan dolar AS dengan mengumumkan berbagai langkah dari rencana untuk membatasi impor barang-barang konsumsi, percepatan penggunaan biodiesel berbasis sawit untuk memotong impor bahan bakar dan upaya untuk meningkatkan pariwisata dan ekspor. 

Pemerintah juga bermaksud untuk memesan perusahaan energi BUMN untuk menjadi pembeli tunggal minyak mentah yang diproduksi secara lokal untuk membantu mengurangi impor minyak.

5. Akankah ini berhasil?

BI mengatakan fundamental ekonomi Indonesia lebih baik daripada banyak mitra pasar berkembang seperti Argentina, Turki dan Rusia. Hal ini terutama karena cadangan devisa yang sehat dan fundamental ekonomi yang kuat, yang menempatkan negara dalam posisi yang kuat untuk menahan guncangan eksternal. 

Namun dengan the Fed yang berencana terus menaikkan suku bunga, pelemahan rupiah diperkirakan berlanjut.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement