REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong mengatakan pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi kekhawatiran investor atas eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Kanada.
“Rupiah diperkirakan akan kembali melemah hari ini oleh kekhawatiran tarif Trump dan eskalasi perang dagang setelah ancaman Trump untuk menaikkan tarif Kanada dua kali lipat,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Untuk diketahui, Trump menaikkan tarif menjadi dua kali lipat dari 25 persen ke 50 persen atas baja dan aluminium. Ottawa merespons dengan menerapkan pajak 25 persen pada ekspor listrik ke AS, pasca Trump menggandakan tarif terhadap baja dan aluminium Kanada.
“Retaliasi Kanada dengan penerapan biaya tambahan 25 persen untuk pasokan listrik dari Ontario ke Michigan, New York, dan Minnesota,” ungkap Lukman.
Selain itu, rupiah juga memperoleh sentimen negatif dari proyeksi Goldman Sachs Group Inc. terkait defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia yang akan semakin melebar dan mendekati batas, yakni 2,9 persen pada 2025, lebih lebar dari target pemerintah sebesar 2,53 persen.
Goldman Sachs turut menurunkan peringkat obligasi negara tenor 10 dan 20 tahun menjadi neutral, serta menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight.
Para analis Goldman Sachs menilai risiko itu berpusat pada kekhawatiran atas kondisi ekonomi, setelah Presiden Prabowo mengumumkan serangkaian langkah pemerintah, termasuk realokasi anggaran, pembentukan dana kekayaan negara, serta perluasan kebijakan perumahan untuk keluarga berpenghasilan rendah, yang diproyeksikan akan dapat memperburuk defisit.
“Penurunan rating obligasi akan memicu kenaikan pada imbal hasil obligasi yang akan menekan rupiah,” ucap dia.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Rabu di Jakarta melemah hingga 34 poin atau 0,21 persen menjadi Rp 16.443 per dolar AS dari sebelumnya Rp 16.409 per dolar AS.