REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Bali I Gede Wenten Aryasuda menilai kebijakan pemerintah pusat melakukan pemangkasan tunjangan fungsional para guru swasta adalah tindakan kurang adil.
"Kebijakan pemerintah tersebut kurang adil terhadap para guru swasta, apalagi gaji tunjangan yang diterima selama ini sangat kurang dibanding pengabdiannya selaku pendidik," katanya di Denpasar, Ahad (8/4).
Ia mengaku sangat menyesalkan kebijakan pemerintah pusat yang memangkas kuota guru swasta di Bali yang berhak menerima tunjangan fungsionalnya sebagai pengajar atau pendidik.
Apalagi, kata dia, tunjangan fungsional dari para guru swasta ini nilainya sudah sangat minim. Hanya sebesar Rp300 ribu per bulan.
Menurut Aryasuda, hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi, karena kebijakan ini sangat kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan berkarakter di jenjang pendidikan dasar maupun menengah.
Selain itu, kurang sinergi dengan upaya progam peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Ia mengatakan, pemberian tunjangan fungsional bagi para guru swasta tersebut merupakan amanah PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, sehingga pemerintah wajib menindaklanjuti aturan tersebut.
Karena pada pasal 21 ayat 2, disebutkan subsidi tunjangan fungsional guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dianggarkan sebagai belanja pegawai atau bantuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan tunjangan fungsional bagi guru swasta," ujarnya.
Hal senada juga dikemukakan pengamat pendidikan Drs I Nengah Madiadnyana, bahwa bila merujuk ketentuan PP Nomor 74 tahun 2008 pemerintah semestinya punya komitmen yang kuat dalam memperjuangkan hak para guru swasta terkait tunjangan fungsionalnya sebagai pengajar atau pendidik demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Logikanya, kata dia, jumlah guru swasta semestinya terus ditingkatkan, dan bukan sebaliknya malahan terus dipangkas. "Terus terang saja, saya tidak habis pikir dengan kebijakan pemerintah yang terkesan kontraproduktif," ucapnya.
Madiadnyana yang juga mantan Ketua PGRI Kota Denpasar ini mengakui kebijakan pemerintah pusat yang memangkas tunjangan fungsional guru swasta ini tidak mencerminkan kebijakan yang berkeadilan dan kurang manusiawi.
Hal ini juga dapat memicu kesenjangan sosial yang tidak sinergi dengan program pendidikan berkarakter, karena masih ada guru swasta yang tetap menerima tunjangan.
Diakuinya, Pemerintah Bali dan pemerintah kabupaten dan kota se-Bali semestinya punya komitmen untuk menalangi atau menggantikan tunjangan fungsional para guru swasta yang belum mendapatkan jatah dari pemerintah pusat.
Terlebih lagi, para guru swasta di Bali yang tidak dapat jatah tunjangan fungsional hingga mencapai 10 ribu
orang lebih.
"Sehingga tidak sampai mengganggu upaya peningkatan mutu pendidikan berkarakter dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing global," kataya.
Untuk diketahui, tahun 2012 pemerintah pusat melalui Kemendiknas hanya menjatahkan tunjangan fungsional bagi guru swasta di Bali dalam anggaran tahun ini sebanyak 2.927 orang.
Artinya sekitar 10 ribu lebih, dari 13 ribu lebih guru yang kini mengabdi di jenjang pendidikan mulai dari TK, SD, SMP dan SMA/SMK di Bali terpaksa harus gigit jari lantaran tidak dapat menikmati tunjangan fungsional.