REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Guru Besar Parasitologi Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof dr Indah S Tantular M.Kes PhD Sp.Park menemukan alat diagnostik virus malaria secara cepat dalam kurun 1-3 menit.
"Kalau dengan alat yang ada selama ini yang menggunakan metode Giemsa akan membutuhkan waktu 30-40 menit dan sulit digunakan pada daerah-daerah yang tidak ada listrik, karena alatnya berat dan tidak mungkin dibawa kemana-mana," katanya di Surabaya, Kamis (22/5).
Menjelang pengukuhan dirinya sebagai guru besar Unair bersama guru besar 'penemu' lainnya yakni Prof Dr drs Suprapto Ma'at Apt MS (imunolog) dan Prof Dr drh Suwarno MSi (imunolog/virolog) pada 24 Mei 2014, lulusan Unair (S1/S2) dan Universitas Nagoya Jepang (S3) itu menjelaskan alat diagnostik cepat temuannya akan mempercepat pengobatan dan pengobatannya juga tepat.
"Di wilayah endemik seperti di Papua, Flores, Halmahera, Pulau Buru, Pulau Seram, Maluku, dan sebagainya justru penularan malaria semakin cepat, karena jarak tempuh ke rumah sakit umumnya jauh dan kalau pun alatnya dibawa akan sulit, apalagi listrik pada wilayah-wilayah itu tidak selalu nyala," katanya.
Akhirnya, masyarakat di wilayah itu sering mengonsumsi obat anti-malaria bila tubuhnya mengalami panas dengan suhu sangat tinggi, padahal asumsi mereka belum tentu benar. "Kalau terus-terusan mengonsumsi obat anti-malaria, maka kalau terjangkit malaria beneran akan kebal dengan obat," katanya.
Selain mempercepat pengobatan penderita malaria, karena diagnosa sangat cepat, alat diagnostik virus malaria temuannya itu juga mampu mendeteksi virus malaria dalam stadium berapa, apakah stadium 1, stadium 2, stadium 3, ataukah stadium 4.
"Dengan deteksi yang cepat dan tepat, maka pengobatan akan tepat sasaran sesuai stadium penyakitnya, apalagi ada penderita malaria yang memiliki defisiensi enzim G6PD (Glukosa 6 Phosphat Dehidrogenase), sehingga akan mudah mengalami hemolisis (pendarahan) bila diberi obat Primakuin. Nah, alat diagnostik kami dapat mendeteksi penderita begitu," katanya.