REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pengamat Pendidikan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Darmaningtyas menilai kekerasan atau perpeloncoan pada kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek) mahasiswa baru tingkat universitas dan fakultas sudah tidak terlalu tampak.
Menurutnya, kekerasan lebih sering terjadi saat ospek di Program Studi (Prodi).“Kekerasan lebih sering terjadi di prodi-prodi, bukan universitas,” ungkap Darman saat dihubungi Republika, Selasa (28/7).
Menurutnya, setiap prodi biasanya memiliki program perpeloncoan tersendiri tanpa diketahui pihak universitas maupun fakultas. Oleh karena itu, Darman berharap agar pihak universitas dan fakultas bisa mengontrol ketat kegiatan OSPEK di prodi-prodinya.
Darman berpendapat, kegiatan OSPEK di kampus-kampus relatif lebih terarah dibandingkan di prodi. Menurutnya, kegiatan OSPEK di tingkat universitas benar-benar perkenalan kampus. Terutama, lanjut dia, di universitas-universitas negeri.
Darman memang mengakui kekerasan OSPEK di universitas negeri sudah tidak terlalu tampak. Namun, kata dia, kemungkina besar hal ini bisa terjadi di universitas-universitas kecil yang berstatus swasta.
Menurutnya, kekerasan di prodi-prodi maupun kampus swasta kecil acapkali mengandung kekerasan fisik, psikis maupun simbolik.
Sebelumnya, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Natsir menerbitkan buku pedoman yang isinya melarang orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) mahasiswa baru perguruan tinggi yang menggunakan cara kekerasan atau perploncoan.
Ia menegaskan, sudah ada aturan yang menetapkan bahwa ospek di perguruan tinggi, baik negeri (PTN) maupun swasta (PTS) harus ditata dengan baik.
“Ospek di perguruan tinggi tidak boleh mengandung perploncoan karena sifatnya memperkenalkan kegiatan kampus. Sudah ada buku pedoman mengenai ini dan kami sebarkan pada bulan Juni lalu,” ujarnya disela-sela peninjauan ujian masuk mandiri Universitas Diponegoro (Undip), di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 29 Jakarta, Ahad (26/7).