REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Gerakan Nasional 1.000 Start-Up Digital melibatkan para mahasiswa asal Indonesia di China yang tertarik untuk membangun perusahaan rintisan tersebut. "Kalian harus pulang ke Indonesia agar negara kita bisa maju," kata Direktur Eksekutif Kibar Kreasi Indonesia Yansen Kamto kepada para mahasiswa di Beijing, Sabtu (7/4).
Gerakan yang digagas Kibar itu menargetkan 1.000 perusahaan rintisan atau start-up di Indonesia hingga 2020. "Target kami dari 2015 sebanyak 1.000 start-up," ujarnya dalam seminar yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Tiongkok Beijing bekerjasama dengan Kedutaan Besar RI di Beijing itu.
Dia mengatakan sampai saat ini sudah ada 200 start-up yang sedang mendapatkan pembinaan dalam tahap inkubasi. "Kami yakin target tersebut terpenuhi pada 2020," kata dia.
Menurut dia, peluang usaha di bidang ekonomi digital berbasis start-up masih sangat terbuka lebar. Ekonomi digital di China, dia menyebutkan, telah menghasilkan 200 miliar dolar AS, sedangkan Indonesia baru mencatat hasil 81 miliar dolar AS.
"Ada enam sektor yang peluang pasarnya sangat besar sehingga perlu penanganan lebih lanjut di bidang start-up," katanya.
Yansen menyebutkan enam sektor yang berpeluang besar dikembangkan oleh pelaku start-up di Indonesia adalah pertanian, pendidikan, kesehatan, logistik, energi, dan pariwisata. Untuk menggerakkan dan memajukan start-up tersebut, pemerintah menggandeng Kibar.
Kibar merupakan sebuah perusahaan yang didirikan oleh Yansen untuk membangun ekosistem teknologi di Indonesia melalui inisiatif-inisiatif pembangunan kapasitas dan pembinaan inkubasi. "Bangun Indonesia agar kalian bisa maju. Saya tidak dibayar pemerintah karena sudah ada perjanjian hukum antara saya dan Googgle. Tidak ada satu pun proyek dari pemerintah karena saya ingin melayani pemerintah," katanya.
Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Beijing Listyowati berpendapat gerakan yang dirintis Yansen sangat tepat dalam menyikapi momentum era digital. "Dalam pengembangan start-up kita dapat belajar dari Tiongkok, seperti kebijakan yang mempermudah wirausahawan muda dan lulusan perguruan tinggi untuk memulai usaha," ujarnya.
Menurut dia, Indonesia dapat memanfaatkan peluang yang muncul dari kebangkitan perekonomian China. "Tiongkok merupakan negara dengan jumlah unicorn (start-up yang memiliki valuasi senilai 1 miliar dolar AS lebih), terbesar di luar Amerika Serikat," ujarnya.
Listyowati kemudian mencontohkan Distrik Haidian, Beijing, yang dijuluki "Silicon Valley"-nya China pada 2000 menjadi pusat perdagangan barang-barang elektronik. Barang-barang elektronik yang dijual itu merupakan produk asing yang dirakit di China sehingga tidak salah jika kemudian negara itu mendapatkan julukan sebagai bangsa peniru.
"Namun beberapa tahun kemudian pemerintah Tiongkok mengambil keputusan dengan mengubah 'made in China" menjadi created in China'. Hasilnya berbagai pusat start-up, investor, dan pengacara paten bertumbuhan menggantikan toko-toko penjual barang-barang elektronik rakitan," katanya.
Ia merasa yakin Indonesia akan memiliki kekuatan secara global dan menjadi basis terbesar ekonomi digital di kawasan Asia-Pasifik. "Saat ini terdapat sekitar 13 ribu pelajar Indonesia di Tiongkok. Tentunya banyak talenta yang membanggakan sehingga jangan sampai kita sia-siakan," ujar Listyowati.