REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhadi Sugiono menilai, ilmu sosial dianggap duri bagi pengambilan kebijakan pemerintah.
Muhadi menilai di Indonesia tengah terjadi pengurangan besar-besaran peran ilmu sosial terutama di perguruan-perguruan tinggi. Bahkan, sudah ada rencana moratorium dari pemerintah.
Ia menyayangkan hal tersebut karena ilmu sosial memiliki peran besar untuk menjembatani pemerintah dan masyarakat. Tak hanya itu, ilmu sosial juga memiliki andil dalam perumusan kebijakan yang hendak diterapkan pemerintah.
"Hal sebaliknya juga terjadi ketika ilmuwan sosial meneliti kebijakan pemerintah sebagai kritik dan pengawasan, kemudian hasilnya bisa dibicarakan masyarakat luas, sehingga mereka memahami apa yang dilakukan pemerintah," ujar Muhadi.
Ia khawatir fenomena di Jepang terkait ilmu sosial menular di Indonesia. Di Jepang, lanjut dia, ilmu sosial sedikit demi sedikit sudah dihapus karena terlalu banyak memberi kritik yang berbeda satu sama lain. Padahal, kritik beragam justru sesuatu yang bagus karena bisa memberikan ruang dialektika. Tujuannya agar masyarakat lebih memahami kondisi internal negaranya.
"Ilmu sosial sekarang masih dimarjinalkan," kata Muhadi saat menghadiri jumpa pers di Forum Wartawan Kampus Gadjah Mada (Fortakgama), Senin (3/9) lalu.
Kepala PPSAT, Hermin Indah Wahyuni menerangkan, masalah lain ilmu sosial saat ini yaitu lahirnya era globalisasi yang transformatif dan disruptif. Teknologi dan informasi yang berkembang justru menyebabkan banyak masalah baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi ilmu sosial untuk berbenah.
Oleh karena itu, digelar International Symposium on Social Science 2018 4-5 September 2018 di Kampus UGM. Tema Social Science in the Age of Transformation and Distruption: Its Relevance, Role and Challenge bertujuan mendorong ilmu sosial lebih berkontribusi. Melalui simposium, Hermin berharap PPSAT bisa merevitalisasi ilmu sosial.