Jumat 31 Jan 2020 01:19 WIB

Tanggapan KAMMI dan PMII Soal Kampus Merdeka

Kampus Merdeka dinilai terlalu berorientasi pada industri.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Dwi Murdaningsih
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan Program dan Kebijakan Pendidikan Tinggi bertajuk Merdeka Belajar: Kampus Belajar di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan Program dan Kebijakan Pendidikan Tinggi bertajuk Merdeka Belajar: Kampus Belajar di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (24/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah organisasi ekstra kampus menanggapi kebijakan Kampus Merdeka yang dirilis oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tentang Kampus Merdeka. Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Elevan Yusmanto menilai kebijakan tersebut terlalu berorientasi pada industri.

"Memang Nadiem ini mengaskan bahwa, kementerian menegaskan kembali posisi pendidikan Indonesia, melalui Kampus Merdeka itu memfasilitasi bahwasanya kampus itu pro terhadap liberalisasi dan pro kapitalisasi di industri pendidikan," kata Elevan, saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (30/1).

Baca Juga

Sebelumnya, Elevan sempat menyangka bahwa Nadiem akan membawa pendidikan lebih kepada sektor industri pada awal mantan bos Gojek tersebut dipilih sebagai menteri. Saat ini, sangkaannya tersebut semakin terlihat dengan kebijakan kampus merdeka tersebut.

"Tapi, dengan kampus merdeka itu menandakan dengan terang benderang bahwa ada kapitalisasi pendidikan," kata Elevan menegaskan.

Ia pun menyinggung soal konstitusi yang ada di Indonesia. Apabila merujuk pada konstitusi, kata dia, amanatnya adalah pendidikan untuk pencerdasan dan juga kemerdekaan. Jadi, anak-anak Indonesia dibentuk supaya lebih cerdas agar bisa merdeka secara sepenuhnya.

Diksi merdeka yang digunakan Nadiem menurut Elevan tidak sesuai dengan konstitusi tersebut. Mestinya, kurikulum pendidikan tinggi dibentuk agar lebih membuat masyarakat Indonesia dalam hal ekonomi, industri, pangan, dan sebagainya.

"Bukan malah menyesuaikan dengan kondisi industri," kata dia lagi.

Sementara itu, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mengapresiasi kebijakan tersebut. Meskipun demikian, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PB PMII Sabolah Al Kalambi menilai masih ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan kondisi pendidikan tinggi di Indonesia.

Pertama, adalah soal dimudahkannya perubahan status Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH). Sabolah mengatakan, sebelumnya pernah ada penolakan keras dari PMII dan sejumlah organisasi ekstra kampus lainnya soal UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Karena mengindikasikan tanggung jawab pendidikan yang jadi tanggung jawab pemerintah menurut UU didelegasikan ke yang lain. Kami belum tahu secara jauh maksud dari rencana perubahan dan BLU ke BH, tapi yang pasti jika akan sama dengan UU BHP maka pasti akan menuai kontroversi," kata Sabolah menjelaskan.

Selanjutnya terkait dengan kemerdekaan mahasiswa. PMII mendorong agar Mendikbud melanjutkan dan memperjelas Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018. Peraturan tersebut akan memberikan ruang organisasi ekstra masuk ke dalam kampus. Selama ini, organisasi ekstra kampus tidak bisa masuk.

Menurut dia, kemerdekaan mahasiswa yang sesungguhnya juga dapat dilihat dari bagaimana organisasi mahasiswa bisa diterima di dalam kampus. Merdeka di kampus, menurut Sabolah tidak hanya terkait dengan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar di luar program studi selama tiga semester.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement