REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Guru-guru akselerasi di Indonesia dinilai masih kurang dalam mendapatkan pembekalan dalam menangani siswa berbakat istimewa (gifted). Hal ini menyebabkan potensi siswa berbakat istimewa terabaikan karena kurangnya pengetahuan guru.
Psikolog dari Universitas Surabaya (Ubaya), Evy Tjahjono mengatakan, kurangnya pembekalan terhadap guru ini seperti tidak mengetahui siapa siswa berbakat istimewa, kebutuhan dan karakteristiknya.
Sehingga, tidak hanya potensi yang terabaikan, namun guru juga seringkali memberi label negatif terhadap siswa.
"Akhirnya ketika menghadapi anak gifted, seringkali sudah punya asumsi tersendiri bahwa mereka itu kurang kooperatif. Jadi banyak label negatif yang diberikan daripada berusaha memenuhi atau mengaktualkan potensi yang mereka punya," kata Evy kepada Republika di Universitas Sanata Dharma Sleman, Sabtu (21/9).
Kurangnya pembekalan terhadap guru karena tidak semua sekolah keguruan memberikan teknik dan prinsip dalam pembelajaran gifted. Termasuk metode mengajar yang harusnya berbeda dari siswa pada umumnya.
"Diferensiasi kurikulum untuk gifted itu tidak banyak sekolah keguruan yang memberikan pembekalan itu," tambahnya.
Untuk itu, perlu adanya model pembelajaran dalam menghadapi siswa berbakat istimewa ini. Sehingga, guru akselerasi pun dapat menghadapi dan mengembangkan potensi siswa.
"Jadi challenge-nya itu bagaimana mengajak guru untuk memahami karakteristik gifted dan memberikan pengajaran yang sesuai kebutuhan belajar mereka," ujarnya.
Sementara itu, Psikilog Adi D. Adinugroho mengatakan, metode dalam mengajar gifted tidaklah sulit dan bisa dipelajari. Namun, memang kondisi masyarakat di Indonesia yang masih belum siap dalam menghadapi dan menjalankan metode untuk gifted.
Lingkungan sekitar anak berbakat istimewa yakni tidak hanya guru, namun orang tua maupun masyarakat harus bisa memahami dan menjalankan metode pembelajaran yang ramah. Sehingga, dapat menimbulkan motivasi bagi anak berbakat istimewa.
"Saya selalu sarankan untuk mengajar gifted itu menggunakan commensense. Ini afirmasi untuk dia kalau itu worth it untuk dipelajari, itu yang akan menimbulkan motivasi untuk mereka," jelas Adi.
Terkait penerapan kurikulum kepada gifted, lanjutnya, harus fleksibel. Sehingga dapat mengakomodasi seluruh kebutuhan siswa berbakat istimewa. Jika kurikulum yang diterapkan 'kaku', dapat menyebabkan siswa terbentur dengan sistem. Sebab, kebutuhan dan karakteristik siswa berbakat istimewa ini tidak seluruhnya sama.
"Kurukulum harus fleksibel, guru harus bisa menyesuaikan. Guru jangan jadi barrier bagi anak dan masyarakat," ujarnya.