REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemampuan matematika pelajar di Indonesia tergolong masih rendah. Pengamat pendidikan, Doni Koesoema mengatakan rendahnya kemampuan matematika ini disebabkan oleh banyak faktor.
"Yaitu kemampuan guru, sistem kurikulum, dan dukungan orang tua dan masyarakat," kata Doni, pada Republika, Kamis (23/1). Misalnya, di dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, nilai matematika dan sains pelajar Indonesia masih di bawah rata-rata. Rata-rata skor PISA negara yang dinilai di dalam PISA adalah 489.
Indonesia memiliki skor PISA matematika sebesar 379 dan sains dengan skor 396. Sebelumnya, skor PISA matematika Indonesia sempat meningkat yakni pada tahun 2015 sebesar 386, namun kembali turun di penilaian terakhir. Fakta ini menunjukkan bahwa matematika masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pendidikan di Indonesia.
Di lapangan, tidak sedikit pula siswa Indonesia yang menganggap matematika adalah pelajaran yang menakutkan. Doni beranggapan, anggapan menakutkan ini disebabkan matematika yang dinilai sulit oleh mayoritas pelajar Indonesia.
Menurut Doni, kesulitan ini muncul dari faktor utama yakni kompetensi guru. "Matematika sulit karena gurunya kurang kompeten, matematika tidak menarik karena gurunya kurang cinta matematika, tetrutama di level sekolah dasar," kata dia menjelaskan.
Doni mengatakan, tidak semua guru SD mampu mengajar matematika dengan tepat. Hal ini menyebabkan, pelajaran tidak menarik dan terasa kering. Guru tidak mampu menunjukkan belajar matematika itu menyenangkan dan relevan dengan kehidupan.
"Selain itu, konsep kurikulum kita dalam bermatematika masih menghitung atau matematika dianggap hanya hitungan, sehingga tidak boleh belajar matematika menggunakan kalkulator," kata Doni.
Ia menjelaskan, di negara lain, bahkan ketika ujian matematika diperbolehkan memakai kalkulator. Sebab, matematika pada dasarnya bukan hanya menghitung. Matematika merupakan ilmu untuk melatih nalar dan logika. Maka, yang terpenting sebenarnya bukan hitung menghitung namun memahami sebuah permasalahan matematika.
"Maka, faktor kompetensi guru dan konsep kurikulum matematikalah yang perlu diperbaiki," kata Doni menjelaskan.
Tidak hanya itu, orang tua juga kebanyakan kurang memotivasi anaknya untuk belajar matematika di rumah. Padahal, penting untuk memberikan motivasi kepada anak agar semangat dan suka dengan matematika.
Kepala Seksi Pembelajaran Subdirektorat Kurikulum Direktorat Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Setiawan Witaradya mengakui kemampuan matematika pelajar Indonesia masih perlu ditingkatkan. "Pada kenyataannya anak-anak kita kompetensi matematikanya masih perlu ditingkatkan," kata dia.
Kemendikbud, kata Setiawan juga melakukan analisis terkait hal ini. Analisis yang dilakukan terkait dengan analisis soal-soal yang diujikan pada saat Ujiian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).
Pihaknya juga telah mengadakan olimpiade sains nasional (OSN) untuk menggali potensi anak-anak Indonesia di bidang sains. Namun, anak-anak yang tidak bisa mengikuti jumlahnya jauh lebih banyak.
"Nah, ini menjadi tugas Kemendikbud untuk mengawal agar anak-anak yang memang masih memerlukan pembinaan itu kita bina dengan berbagai upaya," kata dia.
Ia menambahkan, saat ini, SD yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan baru berjumlah 30,1 persen atau sekitar 44 ribu SD. Sementara, jumlah total SD di Indonesia sekitar 148 ribu. Artinya, masih ada sekitar 120 ribu sekolah yang belum memenuhi standar nasional pendidikan.
Kemendikbud, kata dia melakukan pembinaan-pembinaan, baik kepada guru ataupun kepala sekolah. Selain itu, saat ini Kemendikbud juga akan memberikan pembinaan kepada pengawas.
"Pengawas ini kan memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam rangka peningkatan mutu sekolah, kita di tahu 2019 juga sudah melakukan peningkatan kapasistas untuk pembinaan mutu bagi pengawas," kata Setiawan.