REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah bangsa akan menjadi pemain utama di pentas dunia apabila memiliki kualitas dan daya saing sumber daya manusia (SDM) yang baik. Siapapun yang menguasainya akan keluar sebagai pemenang.
Sejumlah pakar menyebut dunia mengalamin kerusakan. Para penguasa pemerintahan menyebut kerusakan dunia yg akumulatif.
Perdamaian tidak lagi berhadapan dengan perang. Tapi perdamaian berhadapan dengan ketiadaan perdamaian, seperti terorisme. Kemiskinan kerusakan lingkungan hidup dan lainya. "Dunia mengalami gangguan besar," kata Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin dalam sambutannya di Wisuda Pascasarjana ke-33, Sarjana ke-64 dan diploma Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Sabtu (23/4).
Di sisi lain, era globalisasi dengan kebangkitan Asia timur, serta Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah menggeser kekuatan global dari kawasan Atlantik ke Pasifik. Hal itu ditandai dengan kebangkitan Cina dan negara sekitarnya. Melihat kondisi tersebut Indonesia seharusnya bisa menjadi pemain utama di pusaran global saat ini. Apalagi bila melihat potensi sebagai bangsa yang besar dari jumlah penduduk dan kekayaan alamnya.
Namun, masih terjadi kesenjangan antara realitas dan idealitas di masyarakat. Kesenjangan kualitas SDM, nilai dan budaya, kemandirian dan gotong royong yang seharunys bisa menjadi modal bangsa. "Dari indeks pengembangan manusia global, Indonesia hanya satu tingkat diatas Palestina," kata Din.
Untuk itu dibutuhkan kemampuan SDM memadai yang dilahirkan dari kelompok intelektual sebagai motor utama roda kehidupan bangsa. Kaum ingelektual memiliki peran strategis untuk memajukan bangsa agar menjadi jadi pemenang dalam persaingan dan pemain utama di pentas global.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, peran kaum intelektual yang juga kalangan kelas menengah cukup besar. Itu ditandai dengan dicanangkanya Sumpah Pemuda 1928 dan organisasi Budi Utomo 1908 yang bergerak di bidang sosial ekonomi dan budaya yang melibatkan keum intelektual muda.
Kalangan Intelektual dikenal memiliki komitmen dan berpegang teguh dalam sikapnya, kritis dan menggunakan sikap rasional dalam membaca realitas masyarakat. "Sarjana UMJ harus menjadi intelektual dan mampu tampil sebagai ulul albaab," kata Din.