Rabu 19 Sep 2018 10:27 WIB

Ma'ruf Dimaksimalkan Rebut Suara di Sumatra, Jabar & Banten

KIK maksimalkan Ma'ruf di daerah di mana Jokowi kalah karena politik identitas.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin menjadi narasumber dalam Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Selasa (18/9).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin menjadi narasumber dalam Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Selasa (18/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Kampanye Nasional Koalisi Indonesia Kerja (TKN KIK) akan memaksimalkan bakal calon wakil presiden Ma'ruf Amin untuk merebut suara di Pulau Sumatra, dan dua provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Barat dan Banten. TKN akan mendorong Ma'ruf Amin untuk berkeliling ke Sumatra dan Jawa, khususnya bagian barat dan Banten.

Wakil Ketua TKN KIK Abdul Kadir Karding mengatakan, Ma'ruf difokuskan di Sumatra, Jawa Barat, dan Banten karena daerah-daerah tersebut bukan lumbung suara Joko Widodo pada Pilpres 2014. "Terutama, kalah karena isu politik identitas. Pak Kiai Ma'ruf akan kami maksimalkan di sana," kata Wakil Ketua TKN KIK Abdul Kadir Karding di Jakarta, Selasa (18/9).

Karding menyatakan, KIK memang akan menitikberatkan kampanye di daerah-daerah yang minim perolehan suara bagi Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Kendati demikian, Karding enggan untuk mengungkapkan lebih jauh terkait strategi kampanye KIK di daerah yang bukan menjadi lumbung suara Jokowi-Ma'ruf. Strategi kampanye, dia mengatakan, bukanlah sesuatu yang dapat dipublikasikan.

photo
Abdul Kadir Karding.

Di sisi lain, Karding meminta warga agar jangan tertipu oleh simbol-simbol agama yang digunakan dalam kampanye. Dia mengatakan, masyarakat lebih baik memilih pemimpin yang benar-benar menjalankan syariat agama dan memiliki komitmen terhadap pengembangan umat serta memiliki visi bagi masa depan umat.

"Harus diubah cara pandangnya. Kan banyak orang berkampanye atas nama agama. 'Saya ini tokoh agama yang harus dipilih didukung karena sayalah mewakili agama-agama ini', padahal ya enggak pernah melaksanakan syariat-syariat agama. Shalat saja jarang-jarang itu," katanya.

Karding juga menyebutkan label ulama juga bukan sesuatu yang muncul dengan instan atau tanpa proses. "Mana ada ulama mendadak, mana ada honoris ulama itu enggak ada itu," ujar dia.

Karena itu, Karding pun mengkritik penggunaan istilah santri post-Islamisme. "Saya sendiri enggak ngerti artinya itu. Sekarang ada pemberian gelar ulama kepada orang yang enggak pernah nyantri belajar agama, susah sudah kasihan umat Islam ya," katanya.

Sebelumnya, PKS menyebut bakal calon wakil presiden, Sandiaga Uno, sebagai santri post-Islamisme. Post-Islamisme merujuk pada terminologi politik yang menyelaraskan Islam dengan demokrasi.

Terbaru, politikus PKS Hidayar Nur Wahid mengatakan Sandiaga merupakan ulama. Hal itu lantaran terminologi bahasa Arab yang mengartikan ulama sebagai seseorang yang memiliki keahlian khusus. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement