Kamis 20 Sep 2018 15:16 WIB

Masjid Gedhe Kauman Sarat Filosofi

Ada makna khusus di balik bentuk atapnya yang bersusun tiga.

Masjid Gedhe Kauman menyediakan gule kambing  untuk buka puasa, gule kambing yang merupakan takjil khasnya Masjid.Gedhe Kauman.
Foto: Republika/Neni Ridarineni
Masjid Gedhe Kauman menyediakan gule kambing untuk buka puasa, gule kambing yang merupakan takjil khasnya Masjid.Gedhe Kauman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Gedhe Kauman didirikan pada 29 Mei 1773 atau 6 Rabiul Akhir 1187 H. Pemrakarsanya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Penghulu Faqih Ibrahim Diponingrat. Sementara, sisi arsitektur ditangani oleh Kiai Wiryokusumo.

Berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi, masjid ini memiliki luas bangunan 2.578 meter persegi. Selain ruang shalat utama yang terhampar seluas 784 meter persegi dan serambi 1.102 meter persegi, masjid ini memiliki sejumlah ruang, yakni ruang yatihun (ruang transit ulama), pawestren (tempat shalat putri), pawudhon (tempat wudhu), pebongan gedung kuning (perpustakaan), Ar Raudah (ruang perawatan jenazah), dan kamar mandi. Tempat ibadah ini juga dilengkapi dengan halaman dan kolam.

photo
Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta.

Sultan juga membangun fasilitas untuk pengurus masjid yang disebut pengulon (tempat penghulu). Letaknya, di sisi utara masjid. Fasilitas ini berupa perumahan yang diperuntukkan bagi penghulu Keraton dan keluarganya.

Sedangkan, bagi ulama (khatib), modin (muazin), marbot, abdi dalem pametakan, abdi dalem kaji selusinan, abdi dalem banjar mangah diberi fasilitas yang disebut pakauman (tempat para kaum). Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Kampung Kauman.

Bangunan Masjid Gedhe Kauman mengaplikasikan gaya arsitektur tradisional Jawa yang sarat filosofi. Atap masjid berbentuk tajuk lambing teplok. Berwujud atap bertingkat tiga, bentuk ini mengandung arti bahwa setiap orang yang ingin mencapai kesempurnaan hidup, baik di dunia maupun akhirat, harus dapat melampaui tiga tingkatan, yaitu hakikat, syariat, dan makrifat.

photo
Masjid Gedhe Kauman menyediakan gule kambing untuk buka puasa, gule kambing yang merupakan takjil khasnya Masjid.Gedhe Kauman.

Ruang utama ditopang 36 tiang yang terbuat dari kayu jati Jawa utuh (tanpa sambungan). Ada empat saka guru (tiang utama) dengan ketinggian masing-masing 12 meter. Berdasarkan hasil penelitian, tiang ini sudah berusia 400-500 tahun. Dinding masjid ini terbuat dari batu putih, sedangkan lantainya berbalut marmer buatan Italia.

Di ruang utama ini, terdapat mihrab dan mimbar khatib yang mirip dengan singgasana raja. Berhias ukiran kayu berlapis emas, mimbar tampak mewah dan elegan. Sebagai masjid keraton, tempat ibadah ini memiliki maksura atau tempat sultan dan keluarganya melaksanakan shalat berjamaah.

Tak Lekang Dimakan Usia

Ada bagian di masjid ini yang disebut Al Mahkamah Al Kabiro. Itulah nama yang diberikan untuk serambi. Terdiri atas dua lantai, lantai atas serambi disangga oleh 24 tiang dan lantai bawah 32 tiang.

Pada masing-masing tiang, terdapat umpak, ukiran kayu, dan kaligrafi yang menggambarkan perkembangan kehidupan beragama di tanah Jawa. Umpak menggambarkan, orang Jawa awalnya memeluk agama Hindu, kemudian ornamen di atasnya menggambarkan stupa (agama Buddha). Ada pula ornamen yang menggambarkan masuknya agama Nasrani. Di bagian atasnya lagi, terdapat kaligrafi bertuliskan “Muhammad” dan “Ar Rahman”, sedangkan dipuncaknya ada kaligrafi bertuliskan “Allah”.

photo
Masjid Gedhe Kauman menyediakan gule kambing untuk buka puasa, gule kambing yang merupakan takjil khasnya Masjid.Gedhe Kauman.

Selain mengandung unsur dekoratif, menurut Muhsin, seni pahat yang terdapat di masjid ini juga memiliki makna simbolik yang erat kaitannya dengan agama Islam, seperti wajikan, praba, tlacapan, dan waluh. “Pahatan berbentuk buah waluh yang terdapat di setiap ilar pakar dan pintu gerbang memiliki makna agar selalu mengingat Allah,” katanya.

Jika menilik tahun berdirinya, masjid ini telah berusia ratusan tahun. Tapi, rupanya Masjid Gedhe Kauman tak lekang dimakan usia. Buktinya, ia masih sangat kokoh. Dalam upaya melestarikan bangunan ini, kata Muhsin, dilakukan rehabilitasi masjid pada 1987-1989.

Ketika itu, sejumlah bagian masjid diperkokoh. Salah satunya, pilar-pilar utama diikat dengan kawat baja. Hal itu dimaksudkan agar bila ada gempa bangunan tidak roboh. “Ternyata, alhamdulillah ketika ada gempa besar pada 2006 bangunan masjid ini tetap kokoh.”

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement