REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petani sawit dibuat resah dengan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang turun drastis. Penurunan harga terjadi di seluruh wilayah perkebunan kelapa sawit hingga mencapai harga terendah, yaitu Rp 500 hingga Rp 1.050 per kilogram (kg).
Hal tersebut disampaikan Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto dalam konferensi pers di Kekini Ruang Bersama, Cikini, Senin (24/9). Kondisi ini akibat skema pembelian TBS bagi petani sawit belum diatur secara tepat untuk membangun kemitraan antara petani kelapa sawit mandiri (swadaya) dan perusahaan sebagai pembeli TBS.
"Petani swadaya selama ini tidak pernah dibina, dilatih dan memiliki koperasi. Mereka bahkan menjual ke tengkulak," ujarnya. Sebanyak 32 persen petani swadaya yang menjual hasil kelapa sawitnya ke tengkulak.
Ada perbedaan harga sebesar Rp 300 hingga 400 per kg antara petani swadaya dan petani plasma. Ia melihat, perusahaan sewenang-wenang menetapkan harga pembelian di tingkat pabrik dan pemerintah tidak pernah melakukan pengawasan terhadap pembelian yang dilakukan oleh tengkulak yang bekerjasama dengan pabrik.
Ia menambahkan, ada 3,2 juta hektare luas petani swadaya sementara hanya 1 juta hektare luas petani plasma. Pemerintah belum lama ini mengeluarkan Inpres tentang moratorium sawit yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas.
Pihaknya pun menyetujui keputusan moratorium namun perlu membangun industri yang bermitra dengan petani swadaya. "Agar mereka bisa menerima harga yang lebih baik," ujarnya.
Petani Sawit Sanggau Valens Andi mengatakan, harga TBS di petani plasma sebesar Rp 1.400 per kg. Sayangnya, harga tersebut tidak bisa dinikmati petani swadaya.
"Kalau petani swadaya di bawah Rp 1.000 per kg," ujarnya.
Pada tahun 2015, SPKS menyambut baik hadirnya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh petani. Namun hingga saat ini, BPDP-KS hanya bekerja untuk mendukung industri biodiesel saja.
Kurang lebih 90 persen dana yang dialirkan oleh BPDP-KS (lebih dari Rp 20 triliun) digunakan untuk mensubsidi industri biodiesel.
Bantuan untuk petani sangat sedikit, yakni dua persen dan hanya untuk replanting. Pada 2017, SPKS melakukan gugatan hukum ke Mahkamah Agung karena secara hukum, subsidi untuk biodiesel tersebut merupakan penyelundupan hukum karena tidak sesuai dengan UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014.
"Kutipan 50 dolar AS per ton tersebut membuat harga CPO lokal juga makin berkurang 50 dolar AS. Jika harga CPO lokal tersebut berkurang, maka harga TBS di tingkat petani pun rendah," ujar dia.
Dampak dari kutipan 50 dolar AS per ton CPO telah mengurangi harga TBS petani sekitar Rp 120 hingga Rp 150 per kg. Karena itu, petani kelapa sawit dikebiri untuk kepentingan industri biodiesel dan pemanfaatannya selama ini hanya untuk industri biodiesel saja.
Alasan industri untuk pasar baru dan stabilisasi harga hanya akal-akalan industri biodiesel lantaran pasar baru tersebut dipasok dari bahan baku industri sendiri.