Selasa 25 Sep 2018 13:36 WIB

Keluarga Membuat Eks Napiter JI Insyaf

Arif Tuban mengaku, memacu adrenalinnya dan merasa keren dengan gabung JI.

Ilustrasi Terorisme
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Terorisme

Oleh: Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Arif Budi Setyawan alias Arif Tuban (36 tahun) masih mengingat betul detik-detik penangkapan yang dilakukan aparat Densus 88 kepadanya. Tidak seperti yang diberitakan di media bahwa ia ditangkap di kawasan Jagakarsa, mantan napi terorisme (napiter) ini mengungkapkan, lokasi sebenarnya di Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Juni 2014.

Arif Tuban menuturkan, kala itu ia sedang memiliki janji untuk bertemu seseorang di sekitar Masjid Al Ikhlas, Jati Padang. Dia memang memiliki tugas untuk mengantar seseorang yang ingin berangkat ke Suriah untuk gabung dalam milisi ISIS. 

Sambil menunggu, ia memesan bakso di warung yang ada di seberang masjid. "Saya ditangkapnya di Jati Padang saat makan bakso, di dekat kantor Republika itu lho," ujarnya sambil tersenyum saat ditemui Republika di kawasan Kuningan, Jaksel, belum lama ini.

Saat makan bakso, Arif Tuban tidak merasa curiga pergerakannya sudah dipantau Densus 88. Dia menggambarkan situasinya, yaitu tiba-tiba saja ada tiga orang berpakaian sipil yang seolah sedang memesan bakso dengan membentuk formasi masing-masing duduk di samping kanan dan kirinya. Adapun satu orang lagi duduk di depannya yang dekat pintu keluar.

"Tiba-tiba saja, ada bunyi 'jangan bergerak' dan saya ditodong senjata. Tangan saya diborgol, kepala saya ditutupi kain, dan dimasukkan mobil. Saya masih ingat ada polisi yang bilang 'bayar dulu baksonya'," ujar Arif Tuban mengenang akhir perjalanan kelamnya dalam jaringan dunia terorisme.

Mengenal JI

Arif Tuban membantah anggapan kalau dirinya termasuk jaringan teroris tertentu yang beroperasi di Indonesia. Dia mengakui, kenal dengan berbagai kelompok teroris, seperti Santoso, meski perannya tidak terlalu dalam. "Banyak orang menanyakan saya jaringan apa? Saya bingung jawabnya karena saya terlibat di semua jaringan, terlibat tapi sedikit, lebih tepatnya networker alias penghubung," kata Arif Tuban membuka keterlibatannya di dunia terorisme. 

Dia pun membuka awal perkenalannya dengan dunia teroris yang bermula saat menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama (SMP) milik yayasan di bawah Jamaah Islamiyah (JI) di sebuah tempat di Jawa Timur. Arif Tuban enggan menyebut sebuah tempat lantaran tidak ingin daerah itu dicap negatif oleh masyarakat. 

Dia menyatakan, sebenarnya secara efektif hanya kelas dua saja menempuh pendidikan di SMP tersebut. Hal itu lantaran saat kelas tiga, ia sering sakit-sakitan sehingga jarang masuk. Selepas lulus, Arif Tuban melanjutkan pendidikan ke sebuah sekolah teknik menengah (STM) di kota. Ternyata, ia baru menyadari, meski sudah tidak lagi menjalin kontak dengan ustaz yang dikenalnya di SMP, namun keberadaannya selama di STM tetap dipantau.

photo
Eks napiter Arif Tuban yang kini sudah meninggalkan dunia terorisme.

Karena sekolah di kota dan tak pernah pulang ke rumah orang tuanya maka kegiatan Arif Tuban tak pernah dicurigai pihak keluarganya. "Di situ pembinaan terus berlanjut sama para alumni dan ustaz dari JI. Tapi saya beneran tahu (jaringan) JI itu ada setelah Bom Bali pertama 2002, saya baru ngeh," kata Arif Tuban yang lulus D1 program reparasi komputer ini. 

Dia menyatakan, salah seorang ustaz JI berbicara kepadanya tentang aksi Imam Samudra dkk yang memilih mengebom tempat hiburan malam sebagai bentuk ijtihad. Sang ustaz, sambung dia, seolah membenarkan tindakan itu sebagai bentuk dakwah kader untuk mengglobalkan semangat jihad pascaperistiwa WTC pada 11 September 2001. 

"Terus ada pertanyaan, mengapa kok sudah tahu JI gak menjauh? Sebagai anak muda saat itu, saya merasa tertantang, kayaknya keren ini gabung JI. Kalau anak muda lain memacu adrenalinnya balap motor, saya penasaran," ucap Arif Tuban. 

Dari semakin intensnya berinteraksi dengan kelompok JI, Arif Tuban menyebut, mereka semakin khawatir keberadaannya dideteksi aparat kepolisian. Karena itu, anggota JI yang terhubung dengan peristiwa Bom Bali kerap berpindah dari rumah ke rumah lainnya. 

Pada suatu ketika, Arif Tuban mendampingi sang ustaz bertemu dengan tersangka Bom Bali. Dia tidak menyangka, orang terdekatnya itu memiliki jaringan yang luas. Dia pun menyimpulkan, ternyata banyak orang yang mendukung aksi Imam Samudra dkk. Lama berinteraksi dengan sang ustaz, dia pun dalam kondisi tertentu akhirnya membutuhkan pekerjaan selepas lulus STM dan dibantu oleh komunitas JI 

Sejak saat itu, Arif Tuban pindah ke sebuah daerah yang menjadi basis kelompok JI yang memiliki sebuah pesantren. Dia pun tinggal dan mengembangkan usaha milik sang ustaz. "Pada periode 2002 sampai 2007, saya sekadar simpatisan. Tapi sejak 2007, karena saya tinggal di komunitas JI, saya bertemu dengan orang yang merupakan alumni Ambon dan dekat dengan Imam Samudra," katanya.

Medio 2007, Arif Tuban semakin akrab dengan tamu sang ustaz tersebut dan kerap berdialog. Semakin lama mendapat cerita perjalanan tamu tersebut, Arif Tuban semakin tertarik mendengar sepak terjangnya. 

Hingga pada suatu ketika, ia benar-benar terpesona untuk mengikuti 'jalan dakwah' orang tersebut. "Saya bertanya, orang kayak saya apa bisa membantu? Tamu tadi bilang perjuangan Imam Samudra itu harus dilanjutkan melawan pelaku tiran Amerika yang menzolimi Islam. Itu narasi yang dimainkan seperti itu," kata Arif Tuban.

Terlibat teror

Arif Tuban membeberkan, mulai benar-benar bekerja dalam sebuah rangkaian aksi terorisme di Indonesia sejak pertengahan tahun 2009. Ketika itu, ia mulai dipercaya seseorang dalam jaringan JI untuk menyediakan kader yang siap mengikuti pelatihan. Tidak seperti pelatihan militer di Jantho, Aceh, kali ini lokasinya akan digelar di perkotaan.

Arif Tuban mendapat penjelasan bahwa pelatihan untuk survive itu dilakukan sebagai persiapan menghadapi kondisi tidak menentu pada masa depan. "Saya gak pernah ikut (pelatihan) dan terlibat. (Tugas) saya membantu yang saya mampu mencari orang atas permintaan tokoh senior JI," katanya.

Sayangnya, dalam perjalanan, ia mengaku, sempat pecah kongsi dengan rekannya yang ikut latihan lantaran dikirim untuk merampok Bank CIMB di Kota Medan pada 18 Agustus 2010. Setelah itu, ia berubah lebih banyak aktif membantu teman meramaikan forum internet. 

Arif Tuban melanjutkan, baru tersangkut kasus lagi setelah ada anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang mengabari lewat chatting sedang bersama Santoso dan membutuhkan dana. Dia pun bergerak untuk bisa memenuhi permintaan itu. Pada 2013 hingga menjelang ditangkap setahun berikutnya, aktivitas Arif Tuban yang paling mencolok adalah mengantar pesanan senpi ke tokoh senior JI. 

Karena yakin namanya tidak ada dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh Densus 88, menurut Arif Tuban, selama empat tahun terakhir ia hidup menetap di suatu tempat. Ternyata dugaannya salah. Dia ternyata sudah diintai sejak lama.

"Tapi ternyata nama saya, foto pas ke mana itu ada, dari 2009 nama saya dibidik. 'Gambar kamu sudah muncul di radar kami, cuma keterlibatanmu gak bisa kena delik," kata Arif Tuban menirukan penyidik Densus 88 saat menginterogasinya pada 2014 lalu.

Akhirnya, ia dijerat dengan pasal karena terlibat dalam jual beli senpi. Arif Tuban mengatakan, ia memang mendapatkan fee dari transaksi itu. Di persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan tuntutan penjara tujuh tahun, namun hakim memvonis empat tahun 10 bulan. 

"Saya hanya menjalani penjara tiga tahun empat bulan. Saya pulang Oktober 2017, karena dapat satu setengah tahun remisi dan cuti menjelang bebas," ujar Arif Tuban.

Titik balik

Ada momen yang tidak bisa dilupakan Arif Tuban ketika awal-awal harus menjalani kehidupan di Rutan Mako Brimob, Kota Depok. Berada dalam kurungan, ia terus bertanya-tanya sampai kapan menjalani kehidupan di balik sel. Pasalnya, dari ditangkap hingga proses pemberkasan P21 membutuhkan waktu empat bulan. Dua bulan kemudian, ia menjalani sidang. Adapun vonis dibacakan tiga bulan berselang.

Dari situ, ia sempat berkontemplasi. "Titik balik saya ketika bertemu seorang rekan, saya diskusi di Mako Brimob. Saya diajak bicara, ketika disingung tentang untuk siapa memperjuangkan ini? Ya saya jawab Islam! Saya dituduh egois. Islam yang mana?" begitu Arif Tuban menggambarkan diskusi yang mampu mengubah jalan pikirannya itu.

Selanjutnya, rekannya itu mulai menyinggung tentang keluarganya yang ditinggalkan. Ketika sudah menyentuh masalah keluarga, Arif Tuban seperti tersentak. Apalagi, ia sudah memiliki istri dan anak. Hatinya tiba-tiba luluh. Dia mulai menyadari, 'perjuangan' yang dijalaninya selama ini berada di jalan yang salah.

"Kunjungan keluarga saya larang untuk besuk, anak istri gak usah datang, karena ongkos besar. Cukup di rumah saja, saya gak mau nambah penderitaan mereka," kata Arif Tuban.

Diam-diam, Arif Tuban bertekad ingin meninggalkan dunia kelamnya. Karena itu, ketika sudah dipindah ke Rutan Cabang Salemba Mako Brimob, ia banyak bergaul dengan narapidana umum. Dia sengaja menjauhi beberapa rekan napiter yang terus membicarakannya, karena dianggap tak bisa menjaga pergaulan. 

Dia sehari-hari bergaul sekaligus menasihati pelaku kriminal umum untuk tobat. Karena luwesnya dalam melibatkan diri dengan narapidana lain, Arif Tuban mengaku sempat dijuluki teroris gaul. "Saya sudah mantap. Selama ini salah, saya ingin menjalani hukuman ini ikhlas sebagai pertanggungjawaban perbuatan saya."

Berdasarkan pengalamannya, Arif Tuban menyebut, keluarga menjadi orang yang tak akan pantang menyerah untuk mengajak mereka yang terlibat terorisme untuk kembali ke jalan yang benar. "Karena yang paling gak putus asa untuk menyadarkan ya keluarga, ada ikatan, luluh pasti. Orang tua gak akan putus asa menasihati anaknya, banyak yang berubah setelah itu," ucap Arif Tuban.

Menulis novel

Arif Tuban mengaku, beruntung selama di tahanan memiliki aktivitas positif agar tidak stres. Dia sempat membuat tulisan tangan yang akan dijadikannya novel. Saat ini, ia sedang menyelesaikan novel itu dengan mengubah tulisan di kertas ke komputer, sekaligus menyelesaikan alur ceritanya. 

Beruntung, ia berkenalan dengan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail yang mau memfasilitasnya. "Nanti saya buat buku pengalaman tentang saya," katanya. 

Kini, Arif Tuban juga terlibat sebagai kontributor dalam penulisan di laman www.ruangobrol.id yang didirikan Rosyid Nurul Hakim, yang merupakan adik Noor Huda Ismail. Dia ingin berbagi kisah perjalannya yang terlanjur terjun ke dalam dunia terorisme agar jangan sampai diikuti generasi muda lain.

Pendiri RuangObrol Rosyid Nurul Hakim menerangkan, hadirnya www.ruangobrol.id sebagai bentuk respon atas kehadiran dunia maya yang mengubah dinamika perekrutan teroris yang memanfaatkan internet. Dia menerangkan, sebagai media digital yang bertujuan menyebarkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi sekaligus mencegah radikalisme dan terorisme, RuangObrol menawarkan narasi baru tentang dunia itu.

"Kami ingin mencari penulis yang dulu pernah bersinggungan dengan dunia radikal untuk memperbanyak konten ini. Kita menyebutkan sebagai media alternatif, yang gak konter narasi gak menghakimi, tapi memberi narasi alternatif," kata Rosyid.

Menurut dia, masalah terorisme tidak bisa diserahkan kepada aparat penegak hukum semata. Perlu juga dilakukan langkah pencegahan agar internet tidak lagi menjadi sarana yang digunakan mereka untuk merekrut para jihadis. Karena sekarang ini, orang bisa belajar merakit bom dari tutorial secara daring dan terjadi perubahan dinamika rekrutmen teroris melalui internet.

"Kita tawarkan artikel dengan narasi sendiri dan kita kampanye (melawan terorisme) lewat orang-orang yang pernah terjun langsung dan kita tulis kisahnya," kata Hakim.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement