REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Australia akan menghapus pajak 10 persen dari produk sanitasi perempuan atau yang kerap dikenal dengan istilah 'pajak tampon'. Setelah 18 tahun melewati pergulatan panjang, seluruh pemerintahan negara bagian di Australia setuju dengan penghapusan pajak tersebut.
Para menteri keuangan dari seluruh negara bagian Australia bertemu Rabu (3/10) dan secara aklamasi menyetujui usulan pemerintah Federal untuk menghapus pajak tersebut. "Kami benar-benar senang bahwa setiap orang berkampanye untuk menghapus pajak yang tidak adil ini," tutur Menteri Urusan Perempuan Kelly O'Dwyer seperti dikutip laman AFP, Rabu (3/10). "Jutaan wanita di seluruh negeri akan sangat berterima kasih untuk itu," tambahnya.
Pada tahun 2000, Australia telah memberlakukan Pajak Barang dan Jasa (atau Goods and Service Tax alias GST) bagi produk kesehatan seperti kondom dan pelembab tabir surya yang dibebaskan dari biaya 10 persen, bersama dengan sebagian besar produk makanan. Namun, tidak dengan produk sanitasi atau produk kebersihan wanita lainnya.
Sejak saat itu, pajak tampon menyulut protes pemerintahan yang menerima pajak GST. Menteri Kesehatan Australia pada tahun 2000 Michael Wooldrige menetapkan pajak terhadap tampon diberlakukan karena pembalut tidak bertujuan untuk mencegah penyakit. "Sebagai pemuda, saya ingin mencukur memakai krim, tetapi saya tidak mengharapkannya," ujar dia yang memicu reaksi keras dari masyarakat.
Keputusan tersebut berhasil diloloskan pemerintah federal setelah sebelumnya sempat menghadapi kubu oposisi yang menentangnya atas dasar estimasi menurunnya pendapatan dari sektor pajak. Pengurangan pajak ini diperkirakan akan mengakibatkan pengurangan pendapat sekitar 30 juta dolar (sekitar Rp 300 miliar) bagi seluruh negara bagian. Namun pemerintah partai Koalisi mengatakan bahwa hal itu dengan mudah ditutupi karena negara bagian sudah menerima pajak yang lebih tinggi dari perkiraan.
Langkah tersebut juga dinilai sebagai langkah genting bagi koalisi pemerintahan konservatif yang berusaha meningkatkan daya tarik bagi perempuan. Terutama di tengah keluhan intimidasi dari anggota parlemen perempuan pada jajaran pemerintahan. Keluhan tersebut mencapai puncaknya bulan lalu, saat Perdana Menteri Malcolm Turnbull dan Menteri Luar Negeri Julie Bishop mundur.
Perdana Menteri baru Scott Morrison menolak seruan agar partainya, Liberal menetapkan kuota bagi para kandidat wanita dalam pemilu mendatan. Dia bersikeras bahwa partai telah memilih kandidat terbaik untuk pekerjaan itu.
Sekitar 20 persen anggota parlemen Liberal adalah wanita, dibandingkan dengan sekitar 45 persen untuk partai oposisi Partai Buruh, yang mempertahankan kuota untuk partisipasi perempuan.