Rabu 10 Oct 2018 19:22 WIB

BUMN Baru Tahu Premium Mau Naik dari Konferensi Pers Jonan

Menteri ESDM membatalkan rencana pengumuman kenaikan premium.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah kendaran bermotor mengantre di SPBU Pertamina di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (10/10). Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM jenis premium menjadi Rp 7.000 per liter.
Foto: Republika/Hiru Muhammad
Sejumlah kendaran bermotor mengantre di SPBU Pertamina di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (10/10). Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM jenis premium menjadi Rp 7.000 per liter.

REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) buka suara soal penundaan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium per Rabu (10/10) sore ini. 

Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno mengungkapkan, pihaknya sebetulnya baru mengetahui kenaikan harga Premium dari konferensi pers yang dilakukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sore tadi.

"Dan kemudian sudah langsung kami tanyakan kepada Bu Menteri BUMN (Rini Soemarno) apakah ini bisa dilakukan atau tidak," jelasnya di Indonesia Pavilion Nusa Dua, Rabu (10/10).

Fajar mengatakan, keputusan untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan Premium (subsidi) dilatari oleh kebijakan kenaikan BBM nonsubsidi yang sudah diumumkan sebelumnya.

Maksudnya, Pertamina mengaku belum siap bila harus menaikkan BBM subsidi dan nonsubsidi sekaligus dalam satu waktu.  "Bu Menteri kemudian mengkroscek dengan Pertamina dan kami tidak siap melakukan kenaikan dua kali dalam sehari. Jadi perlu waktu," jelas dia.

Fajar menyebutkan, dalam memutuskan kenaikan harga BBM nonsubsidi perlu melihat lagi Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Baca juga, Premium Batal Naik.

Beleid tersebut menyebutkan bahwa ada tiga syarat yang menjadi landasan apakah harga BBM naik atau tidak. Ketiga hal tersebut adalah kondisi keuangan negara, kemampuan daya beli masyarakat, dan kondisi riil ekonomi.

Untuk memutuskan kenaikan BBM, lanjutnya, dibutuhkan rapat koordinasi lintas kementerian ekonomi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Rakor juga diikuti oleh menteri terkait, seperti Menteri Keuangan dan Menteri ESDM.

"Kami belum belum tahu (soal koordinasi), kami tahunya dari pengumuman Pak Jonan. Menurut Bu Menteri sih belum (diajak koordinasi oleh Menteri ESDM)," jelasnya.

Fajar sendiri enggan menanggapi soal wujud koordinasi yang dilakukan antarkementerian. Menurutnya, Menteri ESDM sudah menghubungi Menteri BUMN dan menyampaikan bahwa Presiden Jokowi meminta adanya penundaan kenaikan Premium.

Kementerian BUMN, lanjutnya, melihat naik-tidaknya BBM dari sisi korporasi. Fajar menyebut, ada pertimbangan-pertimbangan seperti revenue yang didapat Pertamina hingga implikasi di tengah masyarakat akibat kenaikan harga BBM.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengumumkan pembatalan kenaikan Premium, hanya selang tak sampai satu jam setelah ia mengumumkan kenaikan harga. Premium batal dinaikkan harganya menjadi Rp 7.000 untuk Jawa-Madura-Bali (Jamali) dan Rp 6.900 di luar Jamali.

"Sesuai arahan Bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 WIB hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasus Jonan di Bali.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement