REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap orang mempunyai umurnya sendiri-sendiri. Ada yang berumur hingga ratusan tahun, tetapi tak sedikit meninggal dunia saat muda.
Namun hal terpenting, bagaimana seseorang mampu mengelola kesempatan yang diberikan Allah SWT berupa umur itu, untuk seoptimal mungkin menjalani ibadah juga mempersiapkan kematiannya.
Masa demi masa, dia lalui dengan menorehkan kebaikan dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang ia peroleh. Rasulullah pernah berdialog dengan seorang laki-laki mengenai keberadaan umur ini. Hal tersebut terekam dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad dan Tirmizi, merujuk kisah Abdurrahman bin Abu Bakrah yang ia dapatkan dari ayahnya.
Laki-laki itu bertanya kepada Rasul, manusia manakah yang lebih utama? Rasulullah pun menjawab, yang panjang umurnya dan baik amalnya. Percakapan berlanjut. Manusia manakah yang paling jelek? Rasul menyampaikan jawaban atas pertanyaan kedua itu, Ialah yang panjang umurnya dan jelek perbuatannya.
Sayyid Sabiq melalui Fiqih Sunnah, mengatakan, setiap Muslim dianjurkan untuk membekali dirinya dengan amal saleh. Dengan demikian, mestinya mampu memanfaatkan umur yang melekat pada dirinya untuk mengumpulkan bekal perjalanan setelah kehidupan di dunia.
Seseorang yang mampu memanfaatkan umurnya dengan baik, maka itu sebagai umur yang berkah. Ustaz Aam Amiruddin dalam Bedah Masalah Kontemporer, memasukkan umur berkah itu menjadi salah satu dari tanda kebahagiaan yang diperoleh manusia di dunia ini. Menurut dia, perjalanan waktu akan membawa seseorang ke sebuah arah.
Berhubungan dengan amal ibadah, umur dan waktu yang dipunyai seseorang memungkinkan membawanya ke sejumlah kemungkinan. Kualitas amal seseorang sama dengan hari kemarin, maka dia tertipu oleh masa. Jika lebih buruk dibandingkan kemarin, dapat dikatakan orang tersebut terpuruk.
Maka, mewujud sebagai sebuah rahmat ketika seseorang berkemampuan melakukan amal yang lebih baik daripada kemarin. Ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan di dunia adalah mereka yang berusaha agar hari ini lebih baik daripada kemarin, urainya. Mereka selalu memanfaatkan umur dan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Makin tambah umurnya, makin banyak pula amalnya dan pada saat ajal menjemput, maka orang itu dalam puncak kesalehannya. Apalagi, kematian sudah pasti menghampiri seseorang dan bisa datang secara tiba-tiba tanpa dapat diantisipasi. Mereka yang mempersiapkan diri dianggap sebagai orang bijaksana.
Mereka pun dikatakan sebagai sosok-sosok yang berhasil meraih kehormatan, baik di dunia maupun akhirat. Ibnu Umar mengungkapkan, ia datang kepada Rasulullah sebagai orang ke-10. Waktu itu, tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berdiri dan mengajukan pertanyaan ihwal siapa yang paling bijaksana dan teliti di antara manusia.
Dia adalah orang yang paling sering mengingat maut dan bersiap sedia menghadapinya, jelas Rasulullah. Pada kesempatan yang lain, Rasulullah mengingatkan umatnya, perbanyaklah mengingat pemutus kesenangan. Arti pemutus kesenangan itu adalah maut atau kematian.
Abu Dzarr mempunyai pandangan sendiri mengenai makna kematian. Tahukah kalian hari melaratku? Itu adalah hari aku dibaringkan dalam liang kuburku. Langkah lain ditempuh al-Rabi bin Khaytsam demi memicu dirinya untuk selalu beramal saleh dan mempersiapkan diri menghadapi kematian.
Menurut Imam al-Ghazali dalam bukunya Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja, al-Rabi menggali lubang kubur di dalam rumahnya. Setiap hatinya menjadi keras, ia turun ke lubang kubur itu untuk beberapa lama. Ia memanjatkan doa kepada Allah agar ia dikembalikan ke dunia dan terpacu untuk kembali beramal saleh.
Setelah itu, al-Rabi keluar dari lubang itu dan menyatakan pada dirinya sendiri bahwa ia telah diberi kesempatan untuk kembali ke dunia, maka beramal baiklah selagi bisa.