REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga dua sampai tiga kali sebesar 25 basis poin (bps) menuju tiga persen hingga pertengahan 2019. Ekonom dari Institute for Developments of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menjelaskan, rencana ini perlu diantisipasi Bank Indonesia (BI) dengan berhati-hati dalam menaikkan suku bunga acuan ke depannya.
Andry menuturkan, BI harus waspada karena kenaikan suku bunga yang terbilang besar berpotensi menyebabkan ekspansi bisnis menjadi bermasalah. Kemampuan bisnis untuk meningkatkan faktor produksi juga bisa berdampak terganggu karena mahalnya kredi.
"Bunga yang tinggi ini juga membuat bank semakin malas untuk menyalurkan kredit ke sektor riil," tuturnya ketika dihubungi Republika, Ahad (21/10).
Andry menjelaskan, langkah yang perlu dilakukan pemerintah dan BI adalah mengurangi ketersediaan dolar. Caranya, menekan impor dan meningkatkan ekspor.
Saat ini, penekanan impor sudah terlihat dari beberapa hambatan melalui penetapan pajak dan regulasi kewajiban B20. Tapi, menurut Andry, itu tidak cukup.
Kali ini, sambung dia, pemerintah melakukan negosiasi ulang terhdaap beberapa perjanjian perdagangan yang sekiranya mampu meningkatkan potensi ekspor kita. "Sebagai contoh bagaimana membuka kembali peluang ekspor-ekspor produk sawit hilir ke Eropa dan India," ucapnya.
Selain itu, beban impor minyak Indonesia masih terbilang tinggi sampai sekarang. Andry mengatakan, ketergantugnan ini perlu diperhatikan karena lifting migas Indonesia cukup rendah, berbalik dengan tingkat konsumsi yang justru malah meningkat.
Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketergantungan impor migas. Pertama, perluasan penggunaan b20 untuk listrik. "Saat ini kita masih 47 persen. Jika bisa 100 persen cukup membantu," kata Andry.
Cara kedua, meningkatkan alternatif konsumsi bahan bakar minyak pada kendaraan pribadi. Ini bisa dilakukan dengan mulai meningkatkan kapasitas transportasi publik seperti kereta atau pilihan lain, yakni dengan menaikan harga BBM. Andry menilai opsi terakhir mungkin akan dilakukan setelah pemilu 2019.
Andry merasa, jika pemerintah konsisten melakukan hal ini, tentu rupiah akan semakin kuat. Dari sisi moneter, BI sudah bekerja maksimal dan kini tinggal upaya pemerintah di sektor riil yang perlu diperkuat.
"Pasar juga sudah prediksi kalo di sisi moneter BI akan melakukan apa saja. Tinggal kebijakan pemerintah saja yang bisa mengeremnya," ujarnya.
Presiden Federal Reserve Dallas, Robert Kaplan memprediksi, The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga dua hingga tiga kali untuk menempatkan biaya pinjaman Amerika berada di wilayah netral. Kebijakan ini tidak akan merangsang atau membatasi pertumbuhan ekonomi.
Kaplan juga memastikan, kebijakan The Fed tetap moderat akomodatif. "The Fed pada dasarnya memenuhi mandat ganda," ucapnya, dilansir di Reuters, Sabtu (20/10).
Komentar Kaplan muncul setelah bank sentral AS merilis hasil pertemuan bank sentral pada Rabu (17/10). Dalam pertemuan yang diadakan pada September itu, para pembuat kebijakan setuju menaikkan suku bunga jangka pendek utama untuk ketiga kalinya pada 2018. Kebijakan ini dinilai menjadi formula tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Kaplan memperkirakan, pertumbuhan ekonomi akan mencapai tiga persen pada 2018 dan tingkat pengangguran bisa semakin turun 3,7 persen dibanding dengan tahun lalu.
Sementara kemungkinan ekonomi akan mendingin dari level sekarang, Kaplan memprediksi, Amerika tidak akan mengalami resesi atau kemerosotan. Sebab, sektor konsumen masih kuat, di mana sumbangannya hampir 70 persen dari keseluruhan aktivitas ekonomi.