Senin 29 Oct 2018 13:14 WIB

Warga Palestina di Yerusalem Ingin Boikot Pemilu Israel

Israel dinilai tidak memiliki wewenang untuk menguasai Yerusalem.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Kubah Nabi, Kompleks Masjid Al Aqsha, Yerusalem, Palestina.
Foto: Screen Capture Youtube
Kubah Nabi, Kompleks Masjid Al Aqsha, Yerusalem, Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Warga Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur diprediksi akan memboikot pemilu Israel atas kota tersebut. Hal itu dilakukan agar Israel menyadari bahwa mereka tak memiliki wewenang menguasai kota suci tersebut.

Pada 30 Oktober, Israel berencana menggelar pemilu untuk pemerintah kota Yerusalem. Namun ,pemilu itu tidak hanya ditujukan bagi warga Israel, tapi juga komunitas-komunitas masyarakat lainnya yang ada di Yerusalem, termasuk warga Palestina.

Terdapat sekitar 300 ribu warga Palestina yang tinggal di Yerusalem. Jumlah itu sekitar 40 persen dari total penduduk di Yerusalem. Kendati dapat berpartisipasi, mereka memilih memboikot pemilu Israel di Yerusalem.

Hal itu tidak hanya dilakukan warga, tapi juga tokoh-tokoh Palestina yang mencalonkan diri dalam pemilu yang dilaksanakan Israel. Tahun ini, sejumlah kandidat Palestina mengundurkan diri dari pencalonannya untuk mengisi posisi di dewan kota Yerusalem.

Aziz Abu Sarah adalah salah satu kandidat Palestina yang mengundurkan diri. Sebelumnya dia telah mengumumkan niatnya mencalonkan diri sebagai wali kota Yerusalem.

Menurutnya, memang sudah saatnya bagi masyarakat Palestina untuk memboikot pemilu Israel atas Yerusalem. Apalagi bila mengetahui fakta bahwa selama beberapa dekade terakhir, Israel telah memukimkan sekitar 200 ribu warga Yahudi di Yerusalem Timur. "Kami kehilangan Yerusalem setiap hari," ujar Abu Sarah, dikutip laman Al Araby pada Jumat (28/10).

Berbeda dengan Abu Sarah, Ramadan Dabash masih mempertahankan pencalonannya dalam pemilu yang diinisiasi Israel. Dabash mengepalai daftar enam kandidat Arab yang mencalonkan diri untuk duduk dewan kota.

Dabash mengungkapkan, ia ingin berada di dewan kota Yerusalem untuk melindungi dan mensejahterakan warga Palestina. Ia mengungkapkan, lebih dari 75 persen warga Palestina yang tinggal di Yerusalem hidup di bawah garis kemiskinan. Hal itu diperburuk dengan beban pajak yang harus mereka pikul.

"Orang Palestina membayar pajak lebih dari 400 juta shekel (110 juta dolar AS) ke pemerintah kota Yerusalem. (Namun) mereka hanya menerima 10 persen dari layanan," ujar Dabash.

Menurutnya, jabatan politik di dewan kota juga akan mencegah kontrol Israel atas Yerusalem. Sebab Israel telah menganggap Yerusalem sebagai ibu kotanya.

Pedagang Palestina di Yerusalem Abu Yasser mengatakan tidak akan memilih atau berpartisipasi dalam pemilu yang dilaksanakan Israel di Yerusalem. Sebab menurutnya pemilu tidak akan banyak membawa perubahan.

"Jika warga Palestina di Yerusalem tahu bahwa mereka akan mendapat sesuatu dari pemilu ini, mereka akan menentang keinginan Otoritas Palestina dan memilih untuk mendapatkan layanan kota," kata Abu Yasser.

Pada Desember tahun lalu, Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan tersebut segera menyulut gelombang kritik dan protes dari banyak negara. AS dianggap yelah melanggar berbagai resolusi internasional terkait Yerusalem.

Setelah pengakuan itu, Palestina memutuskan mundur dari perundingan damai dengan Israel yang dimediasi AS. Palestina menilai AS tidak lagi menjadi mediator yang netral karena terbukti membela kepentingan politik Israel.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement