Rabu 31 Oct 2018 17:06 WIB

KTNA: Stok Beras di Petani Lebih dari Data BPS

Data BPS yang menyebutkan surplus beras 2018 sebesar 2,86 juta ton masih parsial.

Red: EH Ismail
Beras
Foto: Prayogi/Republika
Beras

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) mengklaim stok beras yang ada di tangan petani lebih banyak dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Ketua KTNA Winarno Tohir, data beras yang dirilis BPS tidak memperhitungkan jumlah beras yang berada di gudang-gudang petani dan surplus hasil panen tahun sebelumnya.

“Kita itu ada 15 juta kepala keluarga petani. Di tangan mereka ada stok 5,6 juta ton beras. Kalau ditambah dengan surplus beras yang ada di masyarakat berdasarkan data BPS, itu sama artinya ada sekitar 8,1 juta ton beras di masyarakat,” ujar Winarno saat dimintai keterangan wartawan, Rabu (31/10).

Dengan klaim tersebut, Winarno melanjutkan, data BPS yang menyebutkan potensi surplus beras sampai Desember 2018 sebesar 2,86 juta ton merupakan data parsial. Selain tidak memasukkan data beras yang ada di tangan petani, BPS juga tidak memasukkan data beras dari tahun-tahun sebelumnya.

“BPS cuma merilis data beras tahun 2018 bahwa kita surplus 2,85 juta ton. Tapi, dari tahun-tahun sebelumnya, mereka tidak pernah merilis data yang menggunakan metode KSA (kerangka sampel area). Padahal, data beras 2018 tidak bisa berdiri sendiri dan harus ada data pendukung dari tahun sebelumnya untuk memastikan kondisi stok beras saat ini,” ujar Winarno.

Dia melanjutkan, KTNA bukan tidak mendukung atau menegasikan data beras yang didapat BPS berdasarkan metode penghitungan KSA. Hanya saja, KTNA memberikan masukan kepada BPS agar BPS bisa terus menyempurnakan pencatatan data yang dilakukannya.

Sebelum BPS merilis data beras terbaru, kata Winarno, KTNA merujuk pada data hasil survei beras terakhir yang dilakukan Sucofindo. Pada Juni 2017, Sucofindo merilis, sebanyak 15 juta KK petani memiliki stok beras sebanyak 5,6 juta ton. Dengan ditambah stok yang ada di masyarakat sebanyak 2,85 juta ton, maka total beras yang ada di masyarakat seharusnya menjadi 8,1 juta ton.

“Jika kita menggunakan data hasil survei Sucofindo dan ditambahkan ke produksi surplus 2,85 juta ton, maka sebetulnya data ini tidak berbeda jauh dengan data yang dirilis BPS bersama Kementan sebelumnya,” kata Winarno.

Dia pun berharap, BPS lebih bijak dalam merilis data lantaran data yang dirilis tersebut bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mendorong terjadinya impor beras. Jika hal itu yang terjadi, maka petani akan sangat terluka

“Kalau dilakukan impor beras lagi, petani bisa marah. Sekarang ini petani sudah diinjak-injak dan dicekik. Harga jual gabah ditekan, lalu ada impor beras. Petani kalau marah itu diam-diam menghanyutkan, jadi jangan sampai petani marah,” ujar Winarno.

Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani (HKTI) Jawa Barat Entang Sastraatmadja mengatakan, metode baru pengolahan data yang digunakan BPS saat ini berpotensi ada kesalahan. Sebab, metode KSA mendasarkan penghitungan pada luas lahan baku sawah nasional. Padahal, produksi padi yang dilakukan petani ada yang tidak berada di lahan baku sawah.

“Bagaimana dengan petani ladang atau gulma? Itu tidak dihitung?” ujar Entang.

Dia melanjutkan, luas lahan petani ladang yang ada di Indonesia mencapai 1,2 juta hektare. Dengan produktivitas rata-rata 4 ton per hektare, maka potensi produksi padi mencapai 4,8 juta ton gabah atau setara 2 juta ton beras.

“Itu kalau dihitung rata-rata produktivitas 4 juta ton per hektare. Padahal, ada yg produksinya di atas itu,” kata Entang.

Karena itu, dia pun meminta BPS terus menerima masukan-masukan untuk penyempurnaan penghitungan data beras. Sama halnya dengan KTNA, HKTI tidak ingin menolak atau menyepelekan kerja BPS yang dilindungi undang-undang. Hanya saja, BPS juga hendaknya bisa menerima masukan-masukan dari para pemangku kewenangan di bidang perberasan lainnya dan tidak hanya mendengar masukan dari masyarakat statistik Indonesia.

BPS baru saja melakukan penyempurnaan data produksi padi dan beras untuk memperkuat kualitas tata kelola beras dan akurasi statistik. Secara garis besar, tahapan perhitungan produksi beras dimulai dari perhitungan luas lahan baku sawah nasional dan KSA. Proses verifikasi data di 16 provinsi sentra produksi padi dilakukan dalam dua tahapan. Pertama, mencakup 87 persen luas lahan baku sawah di Indonesia. Sedangkan 13 persen luas lahan baku sisanya yang berada di provinsi lain bakal selesai pada akhir 2018.

Berdasarkan perhitungan luas panen diperkirakan produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 49,65 juta ton sampai bulan September 2018. Alhasil, potensi produksi sampai Desember 2018 diperkirakan sebesar 56,54 juta ton gabah atau setara dengan 32,42 juta ton beras.

BPS juga menghitung luas panen tahun 2018 diperkirakan mencapai 10,9 juta hektare. Dengan angka konsumsi beras 29,57 juta ton per tahun, maka diketahui ada surplus beras sebesar 2,85 juta ton.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement