REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) tidak rugi usaha hingga Rp18,4 trilun pada kuartal III 2018. Angka tersebut, kata ia, adalah potensi kerugian dalam pembukuan kinerja kerena kenaikan nilai tukar dolar AS.
Rini di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Rabu, mengatakan catatan rugi pembukuan dengan angka belasan triliunan itu bisa timbul karena PLN memiliki kontrak jangka panjang dengan Independent Power Producer (IPP) yang berdenominasi dolar AS.
Oleh karena nilai kontrak berbentuk dolar AS, maka terjadi peningkatan nilai pinjaman, mengingat saat ini nilai tukar dolar AS terus menanjak. Namun, kata Rini, pinjaman itu tidak dibayar oleh PLN pada tahun ini, sehingga secara riil kerugian tidak terjadi.
"Sehingga kalau saatnya nanti harus membayar pinjaman jangka panjang ya harus bayar. Saat sekarang tidak terjadi, hanya 'unrealize', jadi hanya tercatat di buku, kalau sekarang saya bayar maka akan segini," kata Rini.
Baca juga, Kuartal III PLN Catatkan Rugi Rp 18,4 Triliun.
Dengan demikian, ujar Rini, angka kerugian tersebut hanya rugi yang tercatat dalam pembukaan atau kerugian yang belum terealisasi. Rini juga menegaskan bahwa saat ini arus kas dan likuiditas (cashflow) PLN masih kuat. "Urusan PLN itu adalah karena rupiah itu melemah sehingga ada yang dikatakan unrealize lost," ujar dia.
Penjelasan Rini tersebut menanggapi nilai kerugian yang tercatat di laporan keuangan PLN sebesar Rp18,4 triliun untuk kuartal III 2018, dan ramai diberitakan oleh berbagai media.
Dalam laporan itu, angka kerugian PLN disebabkan peningkatan beban operasi, terutama karena selisih nilai tukar. Nilai kerugian kurs mendominasi hingga Rp17,32 triliun