REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Farid Fad
Sewaktu Perang Khandaq, Ali Ibn Abi Thalib ditantang duel oleh sang jawara Quraisy, Amr Ibn Abd Wad al-Amiri. Sebagai wakil dari pasukannya, mereka dengan taktis memainkan jurus-jurus pedangnya.
Tak berselang lama, Amr pun tumbang tergeletak. Pedang Ali sudah di ujung leher Amr hingga tinggal menghunjamkannya sebagai penanda pasukannya menang telak. Namun, tak disangka Amr malah meludah ke wajah Ali dan mengenai pipinya.
Sempat tertegun, kemudian Ali tak meneruskan menancapkan pedangnya. Ia malah memilih menyarungkan pedangnya ke dalam selongsong pedangnya. Semua yang hadir terkejut, bahkan kecewa. Mengapa Ali tak memanfaatkan momentum emas yang sudah di depan mata? Bukankah perang bisa segera diakhiri?
Saat ditanya, Ali justru menjawab, "Tatkala dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya karena amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah."
Demikianlah akhlak seorang Ali. Sosok pemuda bernyali tinggi yang sempat diragukan bisa meladeni provokasi Amr justru tak tertarik membunuh lawannya hanya karena kegeramannya. Ali tak terdampar dalam emosi dangkal yang akan mengorbankan urat kemanusiaannya pada titik kritis. Perangkap hasrat kemarahan hanya akan menekuk simpul kewarasan, kemudian larut dalam kodrat kebinatangan (nafs hayawaniyah). Objektivitas menjadi lamur, otoritas rasio pun runtuh.
Meminjam istilah Imam Bushiri dalam Kasidah Burdah-nya, nafsu ibarat anak kecil yang akan terus menyusu ibunya. Bila dimanja, ia tak akan mau disapih. Begitu pula libido kebencian, bila dituruti, tak akan pernah ada habisnya.
Lalu, bagaimana bila tiba-tiba kita dihadapkan pada kondisi yang memancing emosi? Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya, "Marah adalah (ibarat) batu yang dinyalakan dalam hati. Tidakkah kalian melihat menggelembungnya urat leher dan memerahnya kedua mata orang yang sedang marah? Jika salah satu dari kalian mengalami kondisi seperti itu, jika sedang berdiri, duduklah, dan jika sedang duduk, berbaringlah. Jika amarah itu belum hilang juga, maka berwudhulah dengan air dingin dan mandilah, karena api tidak dapat dipadamkan kecuali dengan air" (HR Tirmidzi).
Memang, butuh tempaan waktu dan ikhtiar terus-menerus demi tirakat mengelola diri. Perlu pengatmosferan diri ke dalam gravitasi ruhani melalui upaya menyingkronkan kembali raga dengan sanubari, otak dan tubuh, ucapan dan tindakan, serta pikir dan zikir. Bila tercipta demikian, koridor nurani kita akan terlumasi.
Bagaimanapun, serat-serat moralitas tak boleh longgar, sebab imbasnya akan memicu hilangnya nilai dan rasa kemanusiaan. Untuk itu, pendulum kalbu tak boleh tercemari oleh pembiakan kebencian. Kebugaran jiwa harus terjaga. Karena pada dasarnya merawat kesehatan nurani berarti menjaga originalitas modus ketuhanan sebagai kendali mutu sekaligus kontrol diri agar tidak terjungkal dari titian tangga kehidupan.