REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pulau Sumatra diyakini mampu merebut porsi Produk Domestik Bruto (PDB) secara nasional dari Pulau Jawa. Hingga saat ini Sumatra masih menyumbangkan 20 persen dari PDB nasional, di bawah Jawa dengan angka kontribusi 58 persen.
"Sehingga Jawa-Sumatra sumbang nyaris 80 persen hampir ekonomi Indonesia. Itu lah yang orang bilang kesenjangan Jawa dan luar Jawa, antara barat dan timur. Bagian barat ini Jawa, Sumatra, Bali," ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN / Bappenas) Bambang Brodjonegoro di Kantor Gubernur Sumbar, Jumat (23/11).
Bambang melihat, hingga tahun 2045 mendatang sumbangan pertumbuhan ekonomi dari Pulau Jawa perlahan akan berkurang. Hal ini seiring dengan pembangunan infrastruktur yang cukup masif dilakukan di Luar Jawa, dan hilirisasi industri perkebunan dan pertambangan yang terus berkembang. Bahkan menurutnya, pada tahun 2045 mendatang Pulau Sumatra berpotensi merebut 8 persen sumbangan porsi PDB dari Pulau Jawa.
"Dengan SDA, SDM, dan infrastruktur yang ada. Sumatra bisa tumbuh lebih cepat. Bahkan kalau mau turunkan kontribusi Jawa dari 58 persen, 2045 menuju 50 persen. Ketika porsi Jawa berkurang, Sumatra lah yang akan mendapat limpahan terbesar. Relokasi pembangunan dari Jawa yang paling logis adalah Sumatra," jelas Bambang.
Bambang menyebutkan, sejak 2001 lalu pemerintah sudah berupaya melakukan desentralisasi pembangunan dari Pulau Jawa ke luar Jawa. Saat itu, Jawa menyumbang porsi PDB sebesar 56 persen dari angka nasional. Namun setelah 17 tahun berjalan, Pulau Jawa justru menyumbang porsi PDB lebih banyak yakni 58 persen.
"Kenapa porsi Jawa masih tinggi? Karena desentralisasi ekonomi belum terjadi. Kegiatan ekonomi masih terpusat di Jawa dan kegiatan ekonomi lokal belum tumbuh," ujar Bambang.
Bambang menyebutkan, kegiatan ekonomi lokal yang dimaksudnya harus bersumber dari kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah daerah. Menurutnya, Pemda memiliki pengetahuan sendiri untuk memilih potensi ekonomi mana yang bisa dikembangkan. Hal ini berkaitan dengan sektor konsumsi yang masih menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi di daerah.
"Artinya menjaga daya beli terutama adalah menjaga inflasi. Makanya pemerintah selalu berusaha melakukan pemantauan inflasi daerah," katanya.
Ekonomi Sumbar sendiri pernah mengalami commodity booming dengan harga komoditas sawit dan karet yang sempat melonjak tinggi. Namun kondisinya berubah drastis setelah harga CPO dan karet melorot tajam. Sumbar menjadi salah satu contoh provinsi yang belum melakukan diversifikasi industri, sehingga dinamika harga komoditas unggulannya langsung berimbas pada perekonomian daerah.
"Namun Sumatra saat ini sedang dalam tahap recovery. Karena pertumbuhan Sumatra sempat tinggi di 2010-2013 karena commodity boom. Nah bergantung pada komoditas tidak akan menciptakan stabilitas," katanya.