REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pulau Sumatra diharapkan mampu bertransformasi menjadi sentra industri hilir produk turunan minyak kelapa sawit (CPO), dari sekadar pengekspor CPO atau produk setengah jadinya. Cara ini diyakini bisa membuat provinsi-provinsi di Sumatra lebih tahan banting terhadap dinamika perekonomian dunia, termasuk harga komoditas seperti sawit dan karet yang kini lesu.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN / Bappenas) Bambang Brodjonegoro menilai bahwa ketergantungan berlebihan pada komoditas unggulan membuat sebuah daerah tidak memiliki stabilitas ekonomi yang baik. Hal ini sudah dialami sendiri oleh Sumatra Barat yang terlalu bersandar pada CPO dan karet sebagai komoditas ekspor utama. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Sumbar mengalami perlambatan ketika harga komoditas perkebunan anjlok.
"Kita harus diversifikasi dengan industri pengolahan. Industri minyak makan kelapa sawit, industri kimia turunan sawit. Sumatra ini blessed oleh sawit yang tak hanya jadi CPO diekspor namun juga bisa menjadi dasar industrilisasi di Sumatra," jelas Bambang di Kantor Gubernur Sumbar, Jumat (23/11).
Mengacu pada Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah di Pulau Sumatra, terutama CPO, karet, dan minyak bumi, Bambang mendorong pengambil kebijakan di level daerah mampu fokus melakukan diversifikasi pada komoditas-komoditas tersebut. Diversifikasi yang dimaksud termasuk membuat industri hilir yang besar untuk menampung produk mentah.
"Sumatra fokuskan saja, harus menjadi sumber industri pengolahan sawit kalau bisa terbesar di dunia," kata Bambang.
Bambang memandang bahwa dibukanya ruang hilirisasi membuat Sumatra lebih tahan terhadap naik turunnya harga komoditas. Untuk CPO misalnya, produk jadi yang bisa diolah seperti sabun, minyak goreng, atau produk oleokimia. Produk-produk tersebut bisa diekspor dengan harga yang lebih tinggi dibanding produk mentah.
"Dan ketika produk mentah harganya naik turun, produk jadi justru harganya stabil," kata Bambang.
Selain itu, hilirisasi produk sawit sekaligus menjadi jurus bagi pemerintah Indonesia untuk melawan resolusi sawit Uni Eropa. Pasar Eropa diketahui sejak lama merasa gerah dengan banjir produk CPO sebagai bahan dasar industri besar dunia. Isu lingkungan pun dimainkan untuk menekan pertumbuhan industri sawit nasional.
"Sawit ini sedang dalam serangan luar biasa dari Eropa. Penyebab utama perang dagang. Karena sawit ini sangat praktis dan disukai sebagai minyak nabati. Maka ini mengancam minyak nabati yang biasa diproduksi petani di Eropa," kata Bambang.