Rabu 28 Nov 2018 04:53 WIB

Akankah KPK Kembali Panggil Dirut PLN?

Banyak hal akan dibeberkan dalam sidang perdana 29 November mendatang.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Nashih Nashrullah
Juru bicara KPK Febri Diansyah memberi pernyataan kepada wartawan tentang penetapan tiga tersangka baru dalam pengembangan kasus dugaan suap pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Juru bicara KPK Febri Diansyah memberi pernyataan kepada wartawan tentang penetapan tiga tersangka baru dalam pengembangan kasus dugaan suap pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (7/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan tak menutup kemungkinan, penyidik bakal kembali memanggil Dirut PLN Sofyan Nasir dalam penyidikan kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, dengan tersangka mantan Menteri Sosial Idrus Marham. Sofyan diketahui telah beberapa kali diperiksa.

"Sepanjang dibutuhkan maka akan dilakukan pemanggilan. Untuk IM sendiri masa penahanan masih ada waktu sekitar 30 hari lagi," ujarnya di Gedung KPK Jakarta, Selasa (27/11) malam.

Febri menyatakan bahwa pihaknya juga telah membeberkan sejumlah pertemuan yang dilakukan Eni, baik dengan Sofyan maupun pihak-pihak lainnya. Dalam surat dakwaan Eni yang akan dibacakan pada sidang perdana pada Kamis 29 November juga akan banyak hal yang dibeberkan.

"Ada banyak pertemuan yang akan dibuka di persidangan, dimulai konstruksi dari dakwaan, termasuk dugaan penerimaan dari berbagai sumber yang diterima Eni," tutur Febri.

Pada Selasa (27/11) kemarin, penyidik KPK juga mendalami pertemuan yang dilakukan saat pembahasan pembangunan proyek PLTU Riau-1 dari Executive Vice President Corporate Communication and CSR PT PLN, I Made Suprateka.

I Made Suprateka diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham. Pemeriksaan terhadap I Made Suprateka dilakukan tim penyidik untuk mendalami pertemuan antara Dirut PT PLN Sofyan Basir dan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih di luar kantor PLN, di salah satu lokasi di Jakarta.

Sebelumnya dalam persidangan, terdakwa perkara suap proyek PLTU Riau-1, Johannes B Kotjo mengungkapkan kesepakatan skema proyek tersebut. Kotjo mengatakan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir menolak menggunakan sistem tender dalam pengadaan listrik di Riau. 

Sofyan, kata Kotjo ingin agar proyek dikerjakan sesuai Peraturan Presiden nomor 41 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan.

Kotjo sempat merasa keberatan dengan keinginan Sofyan itu. Saat menyatakan keberatan, Kotjo mengaku diancam Sofyan  tidak dilibatkan dalam proyek PLTU Riau-1. "Waktu Saya ke Beijing (temui Chec Huadian) PLN ancam kalau enggak mau, ya sudah kita cari yang lain saja," kata Kotjo dalam sidang beberapa waktu lalu.

Jaksa KPK juga sudah menuntut empat tahun penjara terhadap Kotjo. Selain tuntutan empat tahun penjara, terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 itu juga dituntut membayar denda Rp 250 juta subsidair enam bulan kurungan.

Dalam surat tuntutannya, Jaksa KPK, meyakini Kotjo terbukti menyuap mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih dan Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham untuk mendapatkan proyek PLTU Riau-1.  

KPK  menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I, yakni bos Blackgold Natural Recourses Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) yang sudah menjadi terdakwa, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih (EMS), serta mantan Menteri Sosial Idrus Marham (IM).

Eni bersama dengan Idrus diduga menerima hadiah atau janji dari Kotjo. Eni diduga menerima uang sebesar Rp 6,25 miliar dari Kotjo secara bertahap. Uang itu adalah jatah Eni untuk memuluskan perusahaan Kotjo sebagai penggarap proyek PLTU Riau-I.

Penyerahan uang kepada Eni tersebut dilakukan secara bertahap dengan rincian Rp4 miliar sekitar November-Desember 2017 dan Rp 2,25 miliar pada Maret-Juni 2018‎. Idrus juga dijanjikan mendapatkan jatah yang sama jika berhasil meloloskan perusahaan Kotjo.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement