REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 2015 sebuah pameran fesyen mengejutkan masyarakat Australia. Di sana ribuan pengunjung dikejutkan dengan penampilan busana Muslimah bermerek Covergirl yang dikenakan artis video bloger Nura Afia dan Mariah Idrissi.
Pegiat hukum Australia Lydia Shelly menyoroti fenomena ini dalam tulisannya yang dimuat The Guardian beberapa waktu lalu. Gaya hidup Muslimah ini tampil mewarnai 'dinasti' fesyen dunia yang diperkirakan akan meraup keuntungan hingga 368 miliar dolar AS pada 2021. Ini adalah industri yang berkembang pesat di negeri Kanguru.
Namun sayangnya, dinamika ini dimaknai secara sinis. Sebagian orang menganggap bahwa perkembangan fesyen Muslimah berkaitan dengan radikalisme dan teorisme. Shelly dalam tulisannya menjelaskan, bahwa ini adalah pandangan keliru, karena sama sekali tak ada kaitan antara keduanya.
Pandangan itu, menurutnya, berasal dari orang-orang yang mendapatkan informasi yang salah dan pemahaman sempit tentang terorisme dan radikalisme. Mereka adalah orang-orang yang berpemahaman dangkal tentang diplomasi, mudah berprasangka, dan cenderung mengabaikan kesetaraan dalam hidup.
Muslimah Australia hidup dalam naungan hukum. Aparat setempat, seperti polisi, dinilainya, harus bertindak objektif dalam menjalankan tugas. Tubuh dan pakaian adalah bentuk kekinian dan menjadi indikator kuat yang melawan berbagai tuding an tak jelas.
Lagi pula, tambahnya, Australia memiliki beragam wajah yang ditunjukkan kepada dunia. Sangat naif apabila ada upaya untuk merendahkan atau mengucilkan sebagian masyarakat Australia.
Berbagai upaya untuk merendahkan Muslimah di negeri itu sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Akarnya adalah ketakutan terhadap Islam atau Islamfobia. Perhimpunan universitas di sana pernah mengeluarkan sebuah laporan kondisi islamfobia pada 2017.
Laporan itu menyebutkan, sebanyak 243 insiden terjadi, di antaranya serangan fisik, verbal dan daring. Sebanyak 67,7 persen korbannya adalah wanita. Sejumlah 75 persen pelakunya adalah laki-laki.