REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan anak. "Kami mengapresiasi MK yang memberikan 'lampu hijau' untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan agar bisa mencegah perkawinan anak," kata Yohana di Jakarta, Jumat (14/12).
Yohana mengatakan pemerintah akan mengkaji langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan. Menurut dia, revisi Undang-Undang Perkawinan perlu memiliki pendekatan khusus yang lebih melindungi anak.
Yohana mengatakan perkawinan akan menimbulkan dampak buruk bagi anak karena belum siap berumah tangga dan memiliki anak. "Bayangkan perempuan usia 15 tahun menikah dengan laki-laki 17 tahun, belum tamat sekolah, belum punya pekerjaan. Masih bergantung pada orang tuanya," tuturnya.
Yohana mengatakan secara mental anak juga belum siap untuk menikah. Karena itu, perkawinan anak harus dicegah sehingga perkawinan hanya dilakukan oleh orang dewasa yang siap.
"Orang dewasa saja kadang ada yang kesulitan saat memiliki anak. Apalagi ini yang masih anak-anak. Anak memiliki anak pasti banyak masalah," katanya.
Putusan MK yang disiarkan Kamis (13/12) secara tertulis memerintahkan DPR untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan tentang batas usia perkawinan anak. Dalam putusannya, MK menyebut Indonesia telah masuk dalam kondisi darurat karena perkawinan anak semakin meningkat.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen ada di 23 provinsi. MK menilai perkawinan telah menghilangkan hak-hak anak yang seharusnya dilindungi oleh negara. Bila terus dibiarkan, Indonesia akan berada dalam kondisi "darurat perkawinan anak" yang dapat menghambat capaian tujuan bernegara.