Sabtu 19 Jan 2019 11:10 WIB

Ini Dasar Hukum Pembebasan Ustaz Baasyir Menurut Yusril

Abu Bakar Baasyir pada Jumat, bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasihat hukum Presiden Joko Widodo, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan dasar hukum pembebasan Ustaz Abu Bakar Baasyir. Dia mengatakan, ketentuan tentang syarat-syarat pembebasan bersyarat itu diatur dalam peraturan menteri, bukan peraturan pemerintah maupun undang-undang.

Menurutnya, peraturan menteri adalah aturan kebijakan yang dibuat oleh menteri. "Nah aturan kebijakan itu di bidang eksekutif. Eksekutif tertinggi itu ada di tangan Presiden. Presiden bisa mengambil kebijakan sendiri, mengenyampingkan aturan kebijakan yang dibuat oleh menteri," kata dia kepada Republika.co.id, Sabtu (19/1).

Dalam pembebasan bersyarat terhadap Baasyir ini, lanjut Yusril, ada persyaratan yaitu setia terhadap Pancasila. Namun Yusril mengakui, Baasyir tidak mau menandatangani persyaratan tersebut.

"Beliau mengatakan, 'Saya hanya taat kepada Allah dan setia kepada Islam, enggak bisa sama yang lain'," katanya meniru ucapan Baasyir.

Lantas, Yusril melapor kepada Presiden Jokowi yang kemudian pada akhirnya menghormati pandangan Baasyir yang tidak bisa berubah itu. "Yang kita pahami adalah, orang yang taat pada Islam itu ya taat sama Pancasila," ungkap ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

Presiden Jokowi, lanjut Yusril, kemudian mengatakan untuk mempermudah syarat pembebasan terhadap Baasyir. Dalam konteks ini, Yusril mengakui bahwa tidak ada grasi yang dikeluarkan Presiden untuk membebaskan Baasyir, dan tidak ada pula permintaan keringanan hukuman dari pihak Baasyir.

Yusril menerangkan, pembebasan bersyarat dalam perbuatan pidana umum, cukup dilakukan oleh kepala lembaga pemasyarakatan. Berbeda dengan pembebasan bersyarat dalam konteks pidana khusus, seperti terorisme, yang harus dilakukan oleh direktur jenderal pemasyarakatan (dirjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM.

"Tapi dirjen PAS itu sebenarnya tidak dapat memberikan bebas bersyarat dalam kasus terorisme kalau yang bersangkutan tidak menandatangnai syarat kesetiaan kepada Pancasila. Karena itu, masalah ini diambil-alih oleh Presiden, hanya Presiden yang berwenang memutuskan itu dan mengambil sebuah kebijakan," katanya.

Yusril juga mengakui menyarankan Presiden Jokowi untuk mengambil kebijakan itu. "Dan Presiden sudah mengambil kebijakan. Jadi syarat-syaratnya itu memang dimudahkan," ungkap dia.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai pembebasan Abu Bakar Baasyir bisa mengacaukan sistem meski menggunakan alasan kemanusiaan. Sebab, Baasyir menolak menandatangani surat pernyataan tidak mengulangi tindak pidana sehingga membatalkan hak pembebasan bersyarat atas dirinya.

Fickar menjelaskan, ada beberapa persyaratan administratif agar narapidana memperoleh hak-haknya. Tetapi persyaratan administratif ini tidak boleh menegasikan hak hukum narapidana sebagaimana hak pada umumnya yang bisa digunakan bisa tidak. Misalnya, Basuki Tjahaja Purnama yang tidak menggunakan hak kebebasan bersyaratnya di kasus penistaan agama.

Persyaratan pembebasan bersyarat yaitu telah 2/3 menjalani hukuman, berkelakuan baik selama pidana, telah mengikuti program pembinaan. "Semua itu saya kira sudah dipenuhi tapi dinegasikan karena tidak mau menandatangani surat pernyataan tadi," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (18/1).

Fickar berpendapat, persyaratan administratif tidak bisa mengalahkan hak hukum. Dalam kondisi demikian, pembebasan terhadap Baasyir tidak punya landasan. Jika tidak ada landasannya dan pembebasan tersebut tetap dilakukan, maka akan mengacaukan sistem.

"Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi. Presiden harus membuat landasan hukum, apakah Perppu, Perpres atau Peraturan Menkumham sebagai dasar tindakannya, agar tidak menimbulkan kesan semaunya demi tujuan tertentu, karena itu harus dibuat dulu aturannya," ungkap dia.

Fickar juga memaparkan, ada beberapa kewenangan Presiden sebagai pimpinan kekuasaan eksekutif yang melintasi kekuasaan kehakiman yang diberikan berdasarkan Konstitusi UU Dasar 1945, yaitu grasi, abolisi dan amnesti. Menurut Fickar, Presiden bisa memerintahkan jajarannya untuk 'membebaskan' narapidana berdasarkan aturan yang mengatur hak-hak narapidana. Hak tersebut yakni remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga dan pembebasan bersyarat.

"Jika mengacu pada konstitusi dan konsekuensi berlakunya asas legalitas, maka Presiden bisa menggunakan grasi atau pengampunan yang salah satu pertimbangannya kemanusiaan, tetapi harus ada permohonan dari ABB (Baasyir)," ucap dia

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement