Oleh: Hasanul Rizqa
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Syekh Hamzah Fansuri merupakan figur penting dalam sejarah kebudayaan Melayu-Indonesia. Kemasyhurannya meliputi banyak bidang, yakni kesusastraan, tasawuf, dan dakwah Islam. Namun, sedikit sekali yang dapat memastikan detail riwayat hidup sang perintis tradisi penulisan syair berbahasa Melayu itu. Pendapat pertama menyatakan, sang syekh berasal dari Barus. Pendapat lainnya menyatakan hal yang berbeda.
Argumen yang pertama merujuk, antara lain, pada gelar (takhallus) yang melekat di belakang namanya. Menurut Prof Abdul Hadi WM dalam Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (1995), Fansur merupakan sebutan orang-orang Arab terhadap Barus. Adapun Barus merupakan sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang kini terletak antara Singkil (Aceh) dan Sibolga (Sumatra Utara).
Argumen yang kedua diajukan Syed Naguib al-Attas dalam disertasinya untuk SOAS London, “The Mysticism of Hamzah Fansuri” (1966). Menurutnya, silsilah Hamzah Fansuri dapat dilihat dari sajaknya sendiri, yang berbunyi “Hamzah nin asalnya Fansuri/Mendapat wujud ditanah Shahr Nawi….” Melalui karyanya itu, lanjut Syed Naguib, sang syekh hendak mengungkapkan bahwa keluarganya memang berasal dari Barus, tetapi dirinya sendiri lahir di Syahr Nawi, yakni Ayuthia, ibu kota Kerajaan Siam yang berdiri pada 1350.
Pendapat itu disanggah GWJ Drewes, seorang orientalis Belanda. Seperti disebutkan Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Kelasik (2011), kata-kata “mendapat wujud” dalam penggalan sajak itu tidak berarti yang bersangkutan lahir di kota tersebut, melainkan bahwa di sanalah sang syekh mendapatkan ajaran Wujudiah. Drewes menerangkan, Syahr Nawi pada paruh kedua abad ke-16 merupakan kota dagang yang ramai dikunjungi para musafir India, Persia, Turki, dan Arab. Tidak mengherankan bila banyak ulama Muslim terkemuka yang menetap di sana. Hamzah Fansuri pernah menyambangi kota pelabuhan itu. Setelah memeroleh ajaran Wujudiah di sana, dia pun mengembangkannya di Aceh.
Satu hal yang umumnya disepakati adalah ketokohan Syekh Hamzah Fansuri tidak lepas dari konteks Barus. Wilayah itu sering disinggahi para saudagar dan musafir dari mancanegara. Bahkan, sebut Abdul Hadi, signifikansinya sudah tercantum dalam naskah sejarah Yunani Kuno yang ditulis pada abad kedua sebelum Masehi (SM). Misalnya, catatan Prolomeus yang menyatakan, rombongan kapal Firaun dari Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus untuk mendapatkan kamper (kapur barus), bahan yang amat diperlukan untuk pembuatan mumi.
Barus, Kota Kejayaan Islam
Hingga abad ke-16, Barus masih menjadi salah satu tujuan favorit para pedagang dari negeri-negeri jauh. Berbagai komoditas yang bernilai tinggi diperniagakan di sana. Misalnya, benzoin putih, kamfer, kayu cendana, gaharu, jahe, kayu manis, timah, dan emas. Situasi kota yang kosmopolitan seperti itu memunculkan masyarakat kelas menengah yang haus ilmu pengetahuan. Dapat dipastikan bahwa di Barus pada masa itu telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan, yang di dalamnya para murid belajar ilmu-ilmu agama dan berupaya menguasai berbagai bahasa asing.
Sepanjang hayatnya, Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya fasih berbahasa Melayu, tetapi juga Jawa, Siam, Hindi, Arab, dan Persia. Dua yang paling akhir itu, terang Abdul Hadi, merupakan bahasa penting pada abad ke-16, termasuk mengenai tasawuf Islam. Guru besar Universitas Paramadina itu menduga, di Barus pada masa itu telah berkembang suatu dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya dapat dianggap contoh terbaik ragam bahasa Melayu Barus.
Sampai kini, tidak ada keterangan yang pasti tentang tahun kelahiran dan wafatnya Syekh Hamzah Fansuri. Syed Naguib (1966: 32-33) memperkirakan, tokoh tasawuf itu hidup pada suatu masa sebelum pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1588-1604) dan wafat sebelum 1607, awal kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Argumennya didasarkan pada salah satu sajak karangan Hamzah Fansuri yang berjudul “Ikatan-ikatan ‘Ilmu’l-Nisa”. Di dalam karya itu, dikatakan bahwa sang penyair diperintahkan oleh Sultan Alauddin untuk mengarang sebuah sajak atau setidak-tidaknya mendedikasikan karya itu untuk penguasa tersebut. Raja Kesultanan Aceh yang ke-10 itu bergelar Shah Alam. Rakyat Aceh menyebutnya sebagai Sayyid al-Mukammal. Sajak Hamzah Fansuri mengindikasikan hal tersebut berbunyi: “Shah ‘Alam raja yang ‘adil/Raja Qutub sempurna kamil/Wali Allah sempurna wasil/Raja ‘arif lagi mukammil.”
Sementara itu, Abdul Hadi WM (1995: 11-12) mengaitkan masa hidup Syekh Hamzah Fansuri dengan keadaan Barus dalam kaitannya dengan dinasti Aceh. Untuk diketahui, pada permulaan abad ke-17 pamor kota tersebut mulai merosot. Penyebabnya, Kerajaan Aceh Darussalam di utara terus berkembang. Raja-rajanya berambisi menjadikan Aceh satu-satunya kedaulatan di Pulau Sumatra. Di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh berhasil menaklukkan Barus. Namun, kota itu tidak dibangunnya, sehingga fungsinya sebagai pelabuhan dagang kian sepi. Akhirnya, pada awal abad ke-18, wilayah yang sebelumnya ramai itu sudah jarang dikunjungi.
Abdul Hadi juga mengutip keterangan François Valentijn, seorang misionaris Belanda yang berkunjung ke Barus pada 1706. Di dalam catatannya, sarjana yang mengagumi keindahan bahasa Melayu itu memuji Hamzah Fansuri sebagai “seorang yang sangat terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu oleh karena syair-syair dan puisi-puisinya yang menakjubkan.” Maka dari itu, ada kesan bahwa pada masa hayatnya sang syekh masih mengalami zaman akhir kegemilangan Kota Barus sekaligus menyaksikan pula ekspansi Aceh Darussalam.