REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, mengkritisi sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilainya mengabaikan putusan PTUN soal pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai anggota DPD. Menurut Hamdan, ada dampak yang membahayakan jika KPU abai terhadap putusan tersebut.
Hamdan mengatakan ada dampak hukum sebagai akibat sikap KPU. Dampak yang paling fatal, kata Hamdan, adalah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih terancam ilegal atau inkonstitusional.
“(Pelantikan Presiden dan wakil presiden) itu pasti ilegal,” ujar Hamdan usai menjadi saksi sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik KPU dan Bawaslu pada Rabu (13/2).
Menurut Hamdan, PTUN dengan tegas sudah menyatakan pembatalan dan pencabutan Surat Keputusan (SK) Penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPD Pemilu 2019. Kemudian, PTUN memerintahkan KPU menerbitkan SK baru tentang Penetapan DCT Anggota DPD Pemilu 2019 dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.
“Itu kan sudah dibatalkan. Kalau misalnya KPU tidak mengeluarkan surat keputusan baru soal penetapan DCT DPD, maka dia nanti membuat surat suara itu dari mana? Nanti calon anggota DPD ilegal jadinya. Sebab tidak ada dasarnya. Kan sudah dibatalkan (SK-nya) oleh PTUN,” tuturnya.
Hamdan pun menilai sikap KPU yang tidak menjalankan putusan PTUN bisa mengganggu pelaksanaan dan hasil pemilu. Pasalnya, anggota DPD yang terpilih merupakan anggota ilegal dan pada akhirnya mempengaruhi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang seharusnya dilantik oleh MPR yang di dalamnya terdapat DPR dan DPD.
“Jadi harus hati-hati. Jangan sampai pemilu terganggu. Masalah-masalah hukum seperti ini sangat penting,” tegas Hamdan.
Lebih lanjut, Hamdan mengatakan putusan PTUN adalah putusan yang bersifat konkret, individual dan final. Menurut Hamdan, PTUN adalah pengadilan fakta (court of fact). Sifat PTUN berbeda dengan MK yang merupakan lembaga pengadilan norma (court of norm).
“Nah apapun putusannya pengadilan fakta ini, harus dilaksanakan apa adanya putusan pengadilan fakta itu. Itu dilaksanakan, tidak boleh kita menyatakan saya tidak mau melaksanakan karena tidak sesuai keputusan MK. MK itu tingkatnya norma Undang-undang, sementara undang-undang tidak ada artinya tanpa diwujudkan dalam putusan konkret. Putusan konkrit itulah yang menjadi pegangan dalam perilaku dan kebijakan sehari-hari,” papar Hamdan.