Jumat 15 Feb 2019 23:09 WIB

Pengamat: MLA Pertajam Upaya Pemberantasan Korupsi

MLA dengan beberapa negara adalah bentuk komitmen pemerintah untuk perangi korupsi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Pakar tindak pidana pencucian uang Universitas Trisakti Yenti Garnasih.
Foto: Republika/Agung Suprianto
Pakar tindak pidana pencucian uang Universitas Trisakti Yenti Garnasih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) antara Indonesia dengan beberapa negara merupakan langkah maju dalam upaya pemberantasan korupsi. Upaya pemerintah untuk menjalin kerja sama MLA dengan beberapa negara adalah bentuk komitmen pemerintah untuk terus memerangi korupsi.

Berbagai langkah perjanjian yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, adalah langkah progresif untuk memberantas korupsi. Sejumlah kalangan, baik akademisi, Dewan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ini sebagai langkah maju dan prestasi.

"Ini sebuah langkah maju dalam upaya pemberantasan korupsi. Sangat maju. Apalagi kerja sama dengan Swiss itu luar biasa. Saya rasa luar biasa ini pemerintahan Jokowi. Karena dengan Swiss itu kita sudah lama ingin kerja sama, enggak bisa," kata  Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih kepada wartawan, Jumat (15/2).

Yenti, yang juga sebelumnya adalah Panitia Seleksi Pimpinan KPK itu juga menyinggung pengesahan perjanjian MLA antara Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA). Diketahui Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sepakat mengesahkan perjanjian tersebut dalam rapat paripurna DPR, pada Rabu (13/2) kemarin.

Sebelumnya Pemerintah Indonesia juga menandantangani kesepakatan yang sama dengan pemerintah Swiss. Salah satu kesepakatan di perjanjian itu tentang pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana. Selain Swiss dan UEA, Pemerintah Indonesia juga memiliki perjanjian kerja sama dengan Asean, Korsel Australia, Hong Kong, Cina, India, Vietnam, dan Iran.

Dijelaskannya, Swiss selama ini sering menjadi target para pelaku kejahatan, termasuk kejahatan korupsi untuk menyimpan uang hasil kejahatan mereka. Karena itu menurutnya keberhasilan dalam menjalin kerja sama MLA dengan negara tersebut patut diapresiasi. "Ini prestasi. Tolong jangan dikaitkan dengan pilpres. Ini kan sudah jadi cita-cita bangsa sejak lama. Ketika kita angka korupsinya tinggi, kita ingin sekali kerja sama MLA, nah sekarang sudah ada, bagus," ujarnya.

Yenti menjelaskan, dampak MLA yang diinisiasi Menkumham Yasonna, bagi penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi adalah menitikberatkan kepada penelusuran uang hasil korupsi yang dibawa ke luar negeri. Jika sudah ada perjanjian MLA, maka negara yang menjalin perjanjian tersebut dengan Indonesia akan membantu atau memberikan kontribusi. Salah satu bantuannya adalah untuk mengungkap uang hasil korupsinya ada di negara tersebut.

Menurutnya, perjanjian tersebut tidak hanya menitikberatkan pada putusan pengadilan. Melainkan kerja sama sudah dilakukan sejak penyidikan. Dia mencontohkan, dengan MLA, saat penyidikan tengah berlangsung, dan diketahui ada rekening tersangka di luar negeri, dan negara tersebut memiliki perjanjian MLA dengan Indonesia maka pemerintah Indonesia bisa meminta tolong kepada negara tersebut untuk membekukan aset ataupun meminta rekam data transaksi bank.

"Setelah ada putusan (pengadilan), tolong kami jangan dipersulit untuk merampas, mengembalikan ke negara," jelas Yenti.

Dia menambahkan, selanjutnya yang menjadi tugas penegak hukum adalah menerapkan pasal TPPU bersamaan dengan pasal korupsi kepada para koruptor. Dia mengingatkan, MLA berkaitan dengan kerja sama untuk korupsi, khususnya pelacakan hasil korupsi, mulai sejak penyidikan, penuntutan, dan sampai perampasan hasil kejahatan. Menurutnya semua itu akan optimal kalau penegak hukum, KPK, Polri dan Kejaksaan, sejak awal juga menerapkan TPPU bersamaan dengan undang-undang korupsi.

Pernyataan senada datang dari kalangan legislatif. DPR menilai perjanjian MLA antara Indonesia dengan beberapa negara merupakan langkah yang tepat. Dewan menilai perjajian ini misa digunakan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Salah satu wujud nyatanya adalah aset dari tindak kejahatan yang dibawa koruptor ke luar negeri dapat dibekukan atau ditarik ke Indonesia.

"Perjanjian ini bisa mencegah dan memberantas korupsi. Dengan perjanjian ini diharapkan uang hasil korupsi yang dikirim ke luar negeri bisa terdeteksi," kata Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyono, di kesempatan terpisah.

Wihadi, dalam perbincangan melalui ponselnya,  menambahkan, perjanjian ini memberikan keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Sebab, seluruh aset tindak kejahatan yang ada di luar negeri bisa ditarik kembali ke dalam negeri. Manalagi, Wihadi menilai, keuangan negara sedang mengalami kirisis. Selain itu, pendapatan pemerintah dari pajak tak cukup untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.      

"Perjanjian ini bisa membantu keuangan kita. Tapi ini membutuhkan waktu yang lumayan lama supaya bisa efektif," jelasnya.

Anggota Komisi III lainnya dari Fraksi Golkar John Kenedy Azis menyambut baik perjanjian tersebut. "Kita berharap perjanjian itu bisa berjalan seperti yang diharapkan," kata John.

Perjanjian ini, kata dia, bisa membantu pemerintah mencegah dan memberantas korupsi. Selain itu, perjanjian ini juga bisa mengembalikan aset-aset para koruptor di luar negeri. "Kita berharap semua aset Indonesia yang ada di luar negeri bisa kembali ke Indonesia," ucapnya.

Sebelumnya, KPK menyambut baik perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA) antara Indonesia dengan Swiss.  "KPK melihat MLA tersebut secara positif, yang diharapkan semakin memperkuat kerjasama Internasional yang dimiliki oleh Indonesia," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Rabu (6/2).

KPK meyakini dengan semakin lengkapnya aturan internasional, termasuk perjanjian MLA dengan Swiss akan semakin mempersempit ruang gerak koruptor. Setidaknya, koruptor dan pelaku kejahatan lainnya semakin sulit menyembunyikan hasil kejahatan mereka di negara lain, termasuk Swiss.  "Dengan semakin lengkapnya aturan internasional, maka hal tersebut akan membuat ruang persembunyian pelaku  kejahatan untuk menyembunyikan aset hasil kejatan dan alat bukti menjadi lebih sempit," ujar Febri.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menekankan bahwa pentingnya perjanjian ini sebagai platform kerjasama hukum. Khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi atau asset recovery.

"Perjanjian MLA ini ditandatangani sejalan dengan program Nawacita dan arahan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Di antaranya pada peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia pada 2018," jelas Yasonna.

Yasonna menjelaskan, perjanjian MLA terdiri atas 39 pasal, diantaranya mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.  Lebih lanjut, Perjanjian MLA tersebut juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan atau tax fraud.

Perjanjian MLA Indonesia-Swiss merupakan kerjasama hukum masalah pidana yang ke-10 diteken Indonesia bersama negara lainnya.  Sebelumnya bersama negara ASEAN, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran. Sedangkan bagi Swiss, perjanjian MLA ini yang ke-14 ditandatangani bersama negara non Eropa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement