Sabtu 16 Feb 2019 07:19 WIB

KPK Cegah Dua Orang Terkait Penyidikan PLTU Riau

Diduga, PT BLEM milik Samin Tan telah mengakuisisi PT AKT.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah dua saksi penting yakni CEO Blackgold Natural Resources, Rickard Philip Cecil dan Direktur PT China Huadian Enginering Indonesia, Wang Kun bepergian ke luar negeri. Pencegahan berkaitan dengan proses penyidikan kasus dugaan suap PLTU Riau-1.

"Dalam penanganan perkara PLTU Riau-1, dua orang telah dicegah berpergian ke luar negeri," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK Jakarta, Jumat (15/2).

Baca Juga

Syarif mengatakan, surat pencegahan telah dikirim penyidik KPK kepada Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sejak 27 Desember 2018. Dengan adanya surat pencegahan tersebut, keduanya dicegah selama enam bulan ke depan, tepatnya sampai 27 Juni 2019.

Syarif menjelaskan, pencegahan ke luar negeri ini dilakukan KPK untuk kebutuhan penyidikan kasus suap proyek PLTU Riau-1. Dengan pencegahan ini, Rickard dan Wang Kun tidak sedang berada di luar negeri saat dibutuhkan keterangannya.

Sebelumnya, KPK juga telah mencegah bos Borneo Lumbung Energy and Metal, Samin Tan dan anak buahnya Nenie Afwani. Keduanya dicegah bepergian ke luar negeri terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1 yang menjerat Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.

"(Pencegahan) selama enam bulan terhitung sejak 14 September 2018 hingga 14 Maret 2019," ujar Syarif.

Diketahui, saat ini, Eni Saragih dan Idrus Marham sedang menjalani proses persidangan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Eni  8 tahun pidana penjara dan denda sebesar Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan.

Sementara dari pengembangan kasus ini, KPK menetapkan Samin Tan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).  Samin Tan diduga memberikan suap sekitar Rp 5 miliar kepada Eni Saragih terkait pengurusan terminasi PKP2B PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). PT ATK merupakan anak usaha PT Borneo Lumbung Energy and Metal milik Samin Tan.

Menurut Syarif, pemberian itu berawal pada Oktober 2017, saat Kementerian ESDM melakukan terminasi atas PKP2B PT AKT. Diduga, PT BLEM milik Samin Tan telah mengakuisisi PT AKT.

"Untuk menyelesaikan persoalan terminasi Perjanjian Karya tersebut, SMT diduga meminta bantuan sejumlah pihak, termasuk Eni Maulani Saragih terkait permasalahan pemutusan PKP2B Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT AKR dengan Kementerian ESDM," terang Syarif.

Syarif melanjutkan, sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR dan anggota Panja Minerba Komisi VII, Eni menyanggupi permintaan Samin Tan dan berupaya mempengaruhi pihak Kementerian ESDM, termasuk menggunakan forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian ESDM. Dalam proses penyelesaian tersebut, Eni diduga meminta uang kepada Samin Tan untuk keperluan suaminya, Al Khadziq yang mengikuti Pilkada Temanggung.

"Pada bulan Juni 2018 diduga telah terjadi pemberian uang dari tersangka SMT melalui staf tersangka dan tenaga ahli Eni di DPR, sebanyak dua kali dengan total Rp 5 miliar, yaitu 1 Juni 2018 sebanyak Rp 4 miliar dan 22 Juni 2018 sebanyak Rp 1 miliar," ujar Syarif.

Atas perbuatannya, Samin Tan disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement