REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Harga minyak naik ke level tertinggi sejak November tahun lalu di perdagangan Asia pada Senin (18/2) pagi. Harga minyak global terangkat oleh pengurangan pasokan yang dipimpin OPEC serta sanksi-sanki AS terhadap Iran dan Venezuela.
Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI), terangkat menembus 56 dolar AS per barel untuk pertama kalinya tahun ini, mencapai 56,13 dolar AS per barel. Sementara itu, minyak mentah berjangka internasional Brent mencapai tertinggi 66,78 dolar AS per barel atau naik 0,6 persen dari penutupan terakhir mereka.
Untuk kedua acuan minyak berjangka, ini adalah level tertinggi mereka sejak 20 November 2018.
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) serta beberapa produsen nonafiliasi, seperti Rusia, sepakat akhir tahun lalu memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) untuk mengurangi kelebihan pasokan di pasar global.
Kenaikan harga minyak mentah lebih lanjut didorong oleh sanksi-sanksi AS terhadap eksportir minyak dan anggota OPEC Iran serta Venezuela.
Para pedagang mengatakan, pasar keuangan, termasuk minyak mentah berjangka, juga umumnya didukung oleh harapan bahwa Amerika Serikat dan Cina akan segera menyelesaikan sengketa perdagangan mereka yang telah menyeret pertumbuhan ekonomi global.
"Tanda-tanda positif dalam pembicaraan perdagangan AS-Cina membantu meningkatkan sentimen lintas pasar," kata bank ANZ, Senin.
Namun demikian, sebagian penurunan pasokan tersebut diimbangi oleh melonjaknya produksi minyak mentah AS lebih dari dua juta barel per hari pada 2018 ke rekor 11,9 juta bph. Dan, ada tanda-tanda bahwa produksi AS akan naik lebih lanjut.
Perusahaan energi AS, minggu lalu, meningkatkan jumlah rig minyak yang beroperasi sebanyak tiga rig menjadi total 857 rig, perusahaan jasa energi Baker Hughes mengatakan dalam laporan mingguan Jumat (15/2) lalu.
Itu berarti jumlah rig AS lebih tinggi dari setahun yang lalu ketika kurang dari 800 rig aktif.