REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendirian Kesultanan Banten bermula dari sosok Syarif Hidayatullah. Mubaligh ini juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Menurut Mahrus el-Mawa dalam artikelnya pada jurnal Jumantara (2012), salah seorang wali sanga itu menjalani tugas berdakwah di Cirebon (Jawa Barat), Banten, dan Sunda Kelapa (Jakarta). Teks Carita Purwaka Caruban Nagari menyebutkan, Sunan Gunung Jati memiliki 98 orang murid.
Dengan pendekatan yang simpatik, mereka berhasil mengajak tokoh-tokoh penting di Banten yang awalnya tidak mengenal Islam untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Termasuk di antaranya adalah bupati setempat.
Masalah mulai muncul pada 1522. Seperti dipaparkan Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam bukunya, Sejarah Umat Islam, Kerajaan Pajajaran menguasai sebagian besar wilayah Jawa Barat, termasuk bandar-bandar penting semisal Sunda Kelapa (kelak Jakarta), Pontang, Cikandi, Tangerang, dan Cimanuk.
Eksistensi negeri Hindu tersebut bukanlah ancaman sama sekali. Sebab, masing-masing negeri terus harmonis. Segalanya berubah ketika raja Pajajaran bersekutu dengan Portugis melalui Perjanjian Padrong. Salah satu butir kesepakatan itu adalah mengizinkan Portugis untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
Seketika, langkah Pajajaran itu menuai kecaman. Pendirian Benteng Portugis di Sunda Kelapa dapat menjadi awal penguasaan bangsa Eropa atas seluruh Jawa.
Oleh karena itu, raja-raja Muslim di Jawa bertekad mengusir Portugis dengan kekuatan militer. Sebelumnya, pada 1511 armada Alfonso de Albuquerque telah menaklukkan Malaka dan Pasai. Dengan penaklukan dua bandar itu, jalan Portugis untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara kian mulus.
Baca juga: Selintas Sejarah Kesultanan Banten (2)