REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) mengungkapkan alasannya menolak membuka data kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan secara gamblang. Padahal, desakan dari banyak pihak termasuk sejumlah organisasi masyarakat kian kencang untuk meminta pemerintah buka-bukaan soal HGU. Desakan ini makin kuat setelah dalam debat calon presiden (capres) putaran kedua lalu, isu soal HGU diperbincangkan oleh kedua kandidat.
Desakan untuk membuka data soal HGU juga bukan tanpa alasan. Mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) nomor register 121 K/TUN/2017, pemerintah sebetulnya wajib membuka data tersebut demi menghindari polemik hutan dan sengketa lahan yang sering terjadi di kawasan HGU.
Namun, Kementerian ATR tetap saja bergeming terhadap desakan ini. Menteri ATR, Sofyan Djalil, bahkan berdalih alasannya menutupi data HGU demi melindungi industri sawit nasional.
"Karena kepentingan nasional itu industri sawit, salah satu industri di Indonesia. Jadi kalau ada misalnya disclosure secara terbuka dan itu hak, apa kepentingannya?" ujar Sofyan usai menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Rabu (6/3).
Pengajuan data atas HGU, ujar Sofyan, bisa saja dilakukan dengan aturan yang berlaku. Caranya, pihak pemohon harus mengajukan surat permohonan ke Kementerian ATR dan membayar sejumlah tarif yang nantinya masuk ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Tapi ini basisnya dulu kenapa dan apa kepentingannya? Karena masalahnya kami tidak melihat adanya kepentingan nasional, yang ingin kita lindungi adalah kepentingan nasional," kata Sofyan.
Sofyan juga berargumen bahwa data mengenai hak kekayaan seseorang masih bersifat private property. Kembali kepada putusan MA, Sofyan mengaku pihaknya tetap mengkajinya. Namun pemerintah, ujar dia, tetap berhati-hati karena saat ini dinilai banyak pihak mencoba meminta data tanpa ada kepentingan yang bersifat nasional.
"(Menyangkut) korupsi, itu urusan KPK. Kita mementingkan kepentingan nasional. Ada pelanggaran hukum, laporkan. Kita itu melindungi industri yang di mana sebagian besar petani dan sumber income negara," katanya.
Sementara itu Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan bahwa tertutupnya akses atas HGU telah menimbulkan persoalan seperti tumpang tindih perizinan, konflik tenurial yang berkepanjangan, serta tingginya ancaman kehilangan hutan alam tersisa di Indonesia. Manager Kampanye dan Advokasi Kebijakan FWI Mufti Barri menilai, HGU merupakan hilir atau ujung dari alur panjang perizinan perkebunan.
"Berbagai macam permasalahan tata kelola hutan dan lahan, sebagian berada di konsesi HGU. Ini merupakan kompilasi tunggakan masalah pada setiap tahap perizinan, mulai dari pelepasan kawasan hutan sampai dengan terbitnya izin HGU," kata Mufti.
Atas argumentasi ini, lanjutnya, maka dokumen HGU yang sudah diputus terbuka, sampai tingkat Putusan Mahkamah Agung, menjadi penting bagi publik. Untuk menjabarkan berbagai macam permasalahan, mencari akar masalahnya, dan merumuskan solusi atas permasalahan-permasalahan yang ada.
"Terbukanya dokumen HGU menjadi salah satu prasyarat utama dalam perbaikan tata kelola hutan dan lahan," ujar Mufti seperti dalam siaran persnya.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, dari 9,6 juta hektare wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, sedikitnya terdapat 313 ribu hektare wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin-izin konsesi HGU yang tersebar di 307 komunitas masyarakat adat.
Mengacu pada Kementerian ATR, HGU ialah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. HGU diberikan untuk masa berlaku paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
Setelah jangka waktu HGU dan perpanjangannya selama 25 tahun telah berakhir, pemegang hak dapat diberikan pembaruan HGU di atas tanah yang sama untuk jangka waktu paling lama 35 tahun. HGU hanya dapat diberikan kepada warga negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.