Jumat 08 Mar 2019 14:41 WIB

Kesiapan Muslimah Hadapi Globalisasi

Kehadiran globalisasi tidak bisa dibendung lagi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Muslimah
Foto: EPA/Mast Irham
Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kehadiran globalisasi tidak bisa dibendung lagi. Perlu persiapan matang untuk menghadapinya agar tidak terbawa arus. Pada era sekarang, segala informasi bisa mudah masuk, sehingga perlu ada penyaringan dalam diri untuk membedakan mana informasi yang perlu diserap dan mana yang perlu dibuang.

Ustazah Sitaresmi Soekanto mengatakan, globalisasi dapat menjadi tantangan, tapi bisa pula menjadi peluang. Bergantung ba gaimana cara memperlakukannya. "Kita tidak bisa bersikap defensif. Defensif itu berat karena ki ta sudah keburu ketakutan, le bih banyak deg-degan dan ketar-ketirnya," ujarnya dalam Kajian Muslimah di Masjid al-Lathiif, Mal Pesona Square Depok, Jawa Barat, belum lama ini.

Menurut dia, globalisasi harus dihadapi dengan sikap ofensif. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW pun bersabda: "Didiklah anakmu sesuai zamannya karena mereka hidup di zaman mereka bukan di zamanmu."

Dengan berpikir ofensif, kata dia, orang tua akan mencari cara agar anak-anaknya bisa menyortir informasi yang diterima. "Jadi, bagaimana menghadapi tantangan karena anak kita dikepung banjir informasi, namanya banjir berarti ada sampah, bangkai, dan lainnya. Di situlah kita coba buat supaya anak-anak punya filter, dalam Alquran filter ini disebut furqan, yakni kemampuan membedakan mana yang hak dana mana yang batil," tutur Ustazah Sita.

Ia menyatakan, masifnya pertumbuhan serta perkembangan dunia dalam segala aspek akan menjadi tantangan bila kita tidak mau belajar. Seorang ahli futuristik bernama Alvin Toffler menyebutkan, tantangan menjadi hal berat bagi orang buta huruf di abad 21.

Buta huruf di abad ke-21, me nurut Toffler, bukan mereka yang tidak bisa membaca atau menulis melainkan orang yang tidak mau belajar dalam pengertian hakiki dan tidak mau mempelajarinya ulang. "Misalnya begini, ada ibu-ibu yang mengeluh ke saya tentang sulitnya ikut tahsin di masjid karena pengucapan makhraj hu rufnya harus benar. Ibu ini berarti tidak mau membongkar hasil belajarnya dan mempelajari ulang," ujar Ustazah Sita.

Begitu pula mendidik anak pada era sekarang. Karena itu, dia mengimbau jangan mendidik anak dengan cara ekstrem. Us ta zah Sita menuturkan, ada dua cara ekstrem. Pertama, mengatakan serba tidak boleh ke anak, itu bisa membuat anak kehilangan daya inovasi. Kedua, dengan menga ta kan serbaboleh, yang akan menjadikan anak permisi.

"Nah, cara ekstrem ini harus berhati-hati. Kita boleh bilang tidak ke anak untuk hal yang jelas tidak diperbolehkan dalam Islam, seperti menyekutukan Allah, kita harus tegas dalam soal akidah. Hanya saja untuk hal ber sifat inovasi misalnya melukis gunung atau hal mubah lainnya, anak harus diberi kebebasan ber ekspresi," ujarnya.

Ustazah Sita melanjutkan, globalisasi seharusnya menjadi peluang. Toffler juga mengatakan, pesatnya perkembangan teknologi menuntut kecerdasan, ketang kasan, serta fleksibilitas yang be sar dalam proses belajar. Dia men contohkan, adanya Youtube, dak wah Islam menjadi makin luas tersebar. Pasalnya, banyak orang bahkan non-Muslim me nonton ceramah para dai seperti Ustaz Abdul Somad dan Ustaz Adi Hi dayat melalui platform tersebut.

Ini sesuai firman Allah dalam surah ash-Shaff ayat 8: "Mereka ingin memadamkan cahaya (aga ma) Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya walau orang-orang kafir membencinya."

"Jadi, walau Islamfobia me rebak di mana-mana, terutama di Amerika Serikat dan Eropa, na mun pertumbuhan Islam justru sangat masif. Setiap harinya, ada puluhan ribu orang masuk Islam. Di Jerman misalnya, setiap tahun ada 15 ribuan Muslim bertambah, 80persen di antaranya adalah pe rempuan," kata Ustazah Sita.

Hal itu, kata dia, salah satu nya berkat dakwah yang dilaku kan kaum Muslim di berbagai negara. Di Inggris misalnya, me re ka memperkenalkan Islam de ngan cara ramah sekaligus me nunjukkan bahwa dalam Islam ada keberagaman. Dia pun ber harap Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dapat merepresentasikan nilai-nilai Islam.

Syekh Muhammad Abduh, kata Ustazah Sita, menjelaskan bahwa nilai-nilai Islam yang ti dak ada bandingannya sering kali tertutupi oleh performa kaum Muslimin, padahal seharusnya per forma agama dapat ditam pil kan lewat performa penganutnya. "Kita ingin generasi menda tang memang generasi yang layak untuk representasikan Indonesia sebagai negara dengan populasi mayoritas Muslim terbesar di dunia. Dengan begitu orangorang akan menjadikan Indonesia sebagai rujukan," kata Ustazah Sita

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement