REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepastian perlindungan untuk pekerja migran Indonesia layak menjadi prioritas yang harus dituntaskan pemerintah. Hal ini menjadi catatan penting dalam peringatan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret.
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai sederet regulasi nasional dan juga beberapa kesepakatan bilateral serta multilateral yang sudah ada seharusnya efektif untuk melindungi mereka.
Media Relations Manager CIPS, Vera Ismainy, mengatakan perlindungan untuk perempuan pekerja migran masih belum maksimal.
Padahal remitansi yang mereka hasilkan mampu menggerakkan perekonomian dan membawa manfaat untuk anggota keluarganya.
"Untuk lebih memaksimalkan perlindungan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Vera dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (8/3).
Dia mengatakan, tidak sedikit pekerja migran yang mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga dengan memilih bekerja di luar negeri. Oleh karena itu, dia menilai, sudah sebaiknya pemerintah memberikan fasilitas pendampingan dan perlindungan kepada mereka.
Dengan adanya kebijakan yang jelas dan berpihak pada mereka, diharapkan tidak akan ada lagi pekerja migran yang menempuh jalan ilegal.
Menurut Vera, kebijakan yang mengedepankan sensitivitas gender dan berbasis HAM juga merupakan bentuk perlindungan.
Kebijakan seperti ini harus dimulai dari pendaftaran, perekrutan, pelatihan, pemberangkatan hingga penempatan.
"Kebijakan ini idealnya memberikan kemudahan sekaligus perlindungan terhadap pekerja migran perempuan (tenaga kerja wanita/TKW). Yang terjadi saat ini, para calon pekerja migran sangat rentan terhadap berbagai tindak kriminal dan kekerasan serta minim edukasi mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja,” paparnya.
Selain itu, regulasi yang dibuat pun harus mempromosikan gender-equality. Hal ini diperlukan agar para pekerja migran perempuan tidak mengalami diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan karena identitasnya sebagai perempuan.
Perlindungan lainnya yang dapat diberikan kepada para pekerja migran perempuan di luar negeri adalah dibentuknya program konseling atau mentoring di setiap negara tempat para pekerja migran ditempatkan.
“Kalau jadi diberlakukan, sosialisasi terhadap kebijakan dan juga program konseling atau mentoring juga harus dilakukan,” kata dia.
Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret diharapkan bisa menjadi momentum perubahan bagi para perempuan di dunia. Perempuan masih sering menjadi objek dari tindak kekerasan, tindak kriminal dan pihak yang dirugikan bersama dengan anak-anak dalam situasi tertentu, seperti perang, pelecehan seksual dan perdagangan manusia.