REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika seorang pengunjung memasuki Masjid Cordoba, ia seolah masuk ke dalam hutan tiang berukuran besar dan kecil, berjumlah 1.293 buah terbuat dari marmer. Tiang-tiang itu berbaris rapi laksana pepohonan. Pesona tiang-tiang itu terpancar lewat cahaya yang menerpanya. Seolah ada yang bergetar ketika cahaya membias tiang-tiang yang berbentuk melengkung itu.
Sebanyak 20 tiang berdiri di dalam tiap-tiap ruangan yang berjumlah sebelas dengan atap berbentuk melengkung. Masing-masing ruangan itu dipisahkan dengan lengkungan-lengkungan atap. Akan tetapi, tidak seluruh bangunan masjid diberikan atap. Ada bagian-bagian tertentu yang dibiarkan terbuka agar cahaya dan udara segar bisa masuk ke dalam masjid.
Dekorasi ruangan yang paling istimewa terdapat di ruang mihrab. Lubang-lubang hiasan diletakkan pada ruangan kecil berbentuk segi delapan. Motif dekorasi pada lengkungan-lengkungan di sekitar mihrab tampak konsisten menampilkan stilisasi tanaman dan buah-buahan dalam berbagai kombinasi warna yang berbeda-beda: emas, biru, dan merah.
Keindahan ini digambarkan Zia Pasha, sejarawan asal Turki, sebagai mukjizat yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh akal manusia. ''Ia adalah mukjizat zaman yang belum tergambar dalam benak pembangunan mana pun sejak dunia ada. Juga, belum pernah terbetik dalam akal segala insinyur semenjak akal itu diciptakan,'' katanya seperti dikutip dalam Ensiklopedi Islam.
Pada 1765, seorang utusan Sultan Maroko bernama Algazal Al-Fasi berkunjung ke Spanyol atas undangan Raja Spanyol Carlos III. Pada saat itu, al-Fasi berkesempatan mengunjungi Masjid Agung Cordoba seraya membuat catatan pribadi, ''Dahulu masjid itu adalah masjid terbesar di dunia. Panjangnya, lebarnya, dan tingginya melampaui semua bangunan di dunia. Melihat kebesarannya, mengingatkan kembali kejayaan Islam masa lalu, yaitu masa berkembangnya ilmu pengetahuan dan masa ketika ayat-ayat Allah dikumandangkan.''