REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia akan menanggapi sanksi baru Uni Eropa terkait pertikaian antara Rusia dan Ukraina di Laut Azov. Pada Jumat lalu, Uni Eropa menambahkan delapan daftar sanksi kepada pejabat Rusia, termasuk pejabat layanan keamanan senior dan komandan militer.
Uni Eropa memberlakukan larangan perjalanan dan pembekuan aset kepada pejabat Rusia sehubungan dengan insiden di Laut Azov, November lalu. Ketika itu, angkatan laut Rusia menangkap 24 pelaut Ukraina dan kapal mereka di Selat Kerch, dekat Crimea.
"Klaim Uni Eropa bahwa Rusia melanggar hukum internasional tidak dapat dibenarkan, dan tidak sesuai dengan kenyataan," ujar Kementerian Luar Negeri Rusia dalam pernyataannya, Sabtu (16/3).
Keputusan Uni Eropa menjatuhkan sanksi baru tersebut memperpanjang daftar terhadap 170 orang dan 44 entitas Rusia atas krisis di Ukraina. Kementerian Luar Negeri Rusia menilai tindakan Uni Eropa ini sangat tidak ramah sehingga perlu direspons. Namun pihak kementerian tidak menjelaskan tindakan apa yang akan dilakukan oleh Rusia untuk menindaklanjuti sanksi tersebut.
"Pihak Rusia tidak akan membiarkan tindakan Uni Eropa ini berlalu tanpa jawaban," kata Kementerian Luar Negeri Rusia.
Wakil permanen 28 negara Uni Eropa telah mengambil keputusan untuk memperpanjang sanksi terhadap Rusia pada 5 September lalu. Kala itu, para wakil permanen sepakat memperpanjang sanksi hingga 31 Januari 2019.
Sanksi tersebut akan menargetkan sektor keuangan, energi, dan pertahanan Rusia. Lima lembaga keuangan besar Rusia pun akan dibatasi akses ke pasar modal primer dan sekunder Uni Eropa.
Sanksi ekonomi terhadap Rusia pertama kali diterapkan pada 31 Juli 2014. Sanksi kemudian diperkuat pada September 2014. Adapun alasan penjatuhan sanksi yakni karena tindakan Rusia yang mendestabilisasi situasi di Ukraina.
Uni Eropa juga menilai Rusia tak melaksanakan Perjanjian Minsk. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 12 Februari 2015. Perjanjian itu tidak hanya melibatkan Ukraina dan Rusia, tapi juga Jerman serta Prancis. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah dilaksanakannya gencatan senjata penuh di timur Ukraina, terutama di Donbass.
Konflik bersenjata di Donbass telah berlangsung sejak Maret 2014, tepatnya ketika kelompok anti-pemerintah berhasil memaksa mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych turun takhta.
Dalam demonstrasi yang merebak di sana, terdapat pula kelompok separatis pro-Rusia. Kelompok tersebut belakangan terlibat konfrontasi senjata dengan tentara pemerintah Ukraina.